Rabu, 01 Juli 2015

TUHAN DALAM TOPLES


                                                           

Pada mulanya..manusia mengakui adanya satu Tuhan tertinggi yang menjadi penyebab segala sesuatu. Dia tidak terwakili oleh gambaran apa pun,  tidak memiliki kuil khusus untukNya,  atau pendeta yang mengabdi kepadanya. Dia terlalu luhur untuk dikandangkan dalam sepetak kuil kecil, terlalu luhur untuk ibadah manusia yang tak memadai.

            Begitulah kira-kira sebuah teori yang dijelaskan oleh Wilhelm Schmidt dalam The Origin of the Idea of God, yang pertama kali terbit pada 1912. Teori Schmidt ini dikutip oleh Karen Amstrong dalam bukunya yang berjudul Histroy Of God. Schmidt yang meneliti suku-suku tertua di afrika menyatakan bahwa telah ada suatu monoteisme primitif sebelum manusia mulai menyembah banyak dewa. Satu Tuhan yang disembah ini adalah sosok tertinggi yang teramat mulia, tak dapat tergambarkan dengan apapun, tak dapat dikhayalkan dengan rupa yang bagaimanapun bentuknya. Manusia pernah mempercayai konsep Tuhan yang seperti ini, menyembahnya, menakutinya, berharap  dan berdo’a kepadanya. Namun Tuhan yang begitu tinggi ini akhirnya perlahan berubah.

Perubahan terjadi karena tidak semua manusia mampu mencapai tingkat spiritual tinggi untuk dapat “memahami” akan Tuhan yang seperti itu. Banyak manusia yang mengalami kebingungan teologi dan terlalu malas untuk merenungi nilai-nilai keTuhanan yang universal: terlalu rumit dan abstrak. Ya, banyak orang memerlukan sebuah penjelasan konkrit berupa “symbol-simbol” ketuhanan. Simbol ini memudahkan mereka mengenali tuhan yang sedang mereka cari. Seiring perkembangan kreasi dan budaya manusia, maka simbol-simbol ini perlahan kian beragam jenisnya. Manusia mulai membuat baju, membuat rumah, dan membuat nama-nama yang indah untuk Tuhan yang mereka sembah: hingga akhirnya Tuhan menjadi berbeda-beda----yang kemudian diserap  dalam agama-agama lengkap dengan segala atribut keagamaannya.

Yang menarik menurut penulis adalah, saat ini dapat kita lihat secara jelas bahwa kemudian, simbol-simbol itu justru menjadi acuan kesalehan manusia. Cara mudah manusia beragama adalah memakai kaos dengan simbol-simbol suatu agama. cara indah beragama adalah dengan memperindah “kandang-kandang Tuhan” dan lain sebagainya. padahal simbol hanya berfungsi sebagai jalan untuk mengenali Tuhan yang sebenarnya. Tuhan yang maha segalanya, yang Ghaib, yang maha tinggi tak terjangkau, yang maha besar tak terukur. Ini adalah dasar dari sebuah agama: Tuhan. Seperti  yang diucapkan oleh Rudolf Otto dalam bukunya The Idea Of The Holy, bahwa rasa tentang yang ghaib adalah dasar dari sebuah agama. agama tidak didasarkan pada simbol-simbol buatan manusia, agama tidak berdasar pada pernak-pernik buatan manusia.

Apabila manusia hanya menjadi budak-budak simbol keagamaan, maka dia sebenarnya sedang mengundurkan diri sebagai hamba Tuhan yang maha segalanya. Tuhan itu satu, ESA. Dan dalam perjalanan sejarah, manusia telah membuat simbol-simbol yang beraneka rupa. Dengan kata lain, saat ada perseteruan antar simbol-simbol keagamaan, itu adalah perang antar simbol, antar manusia. Bukan perang antar Tuhan karena Tuhan itu Satu, tidak terlawan, tidak tertandingi.

Manusia harus segera mengakhiri pertikaian antar simbol keagamaan yang mengatasnamakan Tuhan. Karena perseteruan itu justru mencerabut dasar keagamaan. Kita adalah hamba Tuhan, bukan budak simbol. Mari kita berhenti mengkerdilkan Tuhan. Mari kita mulai kembali ke maha luasnya dekapan Tuhan. Apapun agama anda..agama yang mengajarkan tentang nilai-nilai keTuhanan, janganlah berhenti dan menyembah simbol. Teruslah berjalan dan menggapai Tuhan.

Tuhan adalah maha segalanya. Maka, ciri manusia yang mengkerdilkan Tuhan adalah yang memenjarakan Tuhan dalam sebuah simbol buatan mereka sendiri. Kemudian membawa simbol itu berjalan-jalan sembari memamerkannya. Seperti anak kecil yang menangkap seekor kupu-kupu di alam bebas, lalu kupu-kupu itu dimasukkan ke dalam toples..kemudian membawanya berjalan-jalan untuk dibandingkan atau ditarungkan dengan kupu-kupu dalam toples milik sahabatnya.

Apakah itu yang selama ini kita lakukan? Seharusnya kita sadar bahwa kitalah kupu-kupu dalam toples yang dipelihara dan dikuasai oleh Tuhan. Jangan pada sok lah..