Jumat, 28 Agustus 2015

“Aku” yang belum kukenali: (Secuil “hal” dari Misteri Eksistensi Gabriel Marcel bab 1-2)

Menjadi ‘diri sendiri’ adalah tong kosong yang sering ditabuh para motivator untuk membangunkan ‘diri’ seseorang yang katanya sedang tertidur. Tertidur dalam arti terasing, sesat identitas. Identitas dalam kacamata motivator biasanya seputar apa kemampuanmu, apa kebudayaanmu, dan apa ideologimu. Menjadi ‘diri sendiri’ konon katanya, adalah kunci untuk menjalani hidup dalam peti kehidupan. Kata ‘diri sendiri’ selalu terlihat sexi untuk menasehati dan atau memotivasi seseorang yang sedang kebingungan tentang dirinya. Tentang aku harus bekerja apa? aku harus mencintai siapa? Dan lain sebagainya.

Namun cukupkah ‘diri’ ini dilihat hanya dari apa pekerjaannya? Bendera apa yang dihormatinya? siapa namanya? atau apa warna kulitnya? Tidak. Tidak cukup. Ingat, itu semua hanyalah identitas. Dan identitas itu muncul setelah ‘diri’ ini ada. Diri adalah sebuah eksistensi yang kemudian memunculkan esensi berupa identitas atau apalah-apalah. Kita punya banyak kawan yang berwarna kulit sama, pekerjaan sama, Negara sama, agama sama, sampai terkadang nama yang sama. Identitas sama—tapi diri kita tidak sama.

Lalu jika identitas itu bukanlah ‘diri’ ini, lantas siapa atau apakah diri sendiri ini sebenarnya? Berbagai macam identitas pada dasarnya dibuat untuk menjawabnya. Agama-agama yang indah, corak bendera dari beragam Negara, sampai nama-nama suku yang bermacam pula digunakan manusia untuk ‘mengidentifikasi’ keberadaannya sendiri. Namun kenyataannya identitas-identitas itu justru semakin mengaburkan ‘diri’ ini yang sebenarnya. Memperkeruh. Mengacaukan keindahan kehidupan. Bentrok identitas menjadi penyakit kronis sebuah dunia yang menua.

Gabriel Marcel adalah salah seorang yang berusaha mencari tahu tentang ‘diri’ ini yang sebenarnya. Lahir di Paris, Prancis pada tahun 1889. Mendapatkan gelar sarjana filsafat dari universtas Sorbone pada usia 20 tahun. Pada awalnya dia tertarik pada filsafat idealisme, namun konflik antar manusia yang terus berkecamuk di sekitarnya membuatnya berpikir ulang hingga akhirnya dia beralih ke eksistensialisme.

Saat perang dunia 1 meletus, dia ikut bekerja di palang merah. Seringkali dia ikut pencarian orang hilang dengan hanya berbekal selembar identitas terkait orang yang sedang dicari. Saat manusia yang hilang itu tidak ditemukan, maka cukuplah identitas itu digunakan dalam setiap prosesi, baik penguburan atau penerimaan tanda jasa. Pada saat seperti itulah dia kemudian mulai berpikir bahwa tidaklah cukup selembar identitas itu menggantikan manusia sejati yang sekarang entah di mana. Manusia konkrit itu tetap ada, entah di mana. Dan manusia itu adalah eksistensi yang berbeda sama sekali dari lembaran identitas itu. Mungkin lembaran identitas itu cukup untuk menggantikan secara formalitas untuk kepentingan administrasi atau seremonial. Tapi tidak cukup untuk ‘keberadaan’ itu sendiri.

Kegelisahannya kemudian dituang dalam sebuah buku berjudul: Le mistere de L’etre (Prancis), Mystery Of Being (Inggris), Misteri Eksistensi (Indonesia). Gabriel Marcel adalah orang yang sangat menyukai seni, utamanya drama. Itulah mengapa sebagian besar karyanya berupa naskah drama dan cenderung enggan menuliskan pemikirannya dalam bentuk yang ilmiah dan sistematis. Kering.

Buku berjudul Misteri Eksistensi yang penulis pinjam ini, jujur saja terasa begitu berat. Rumit. Berputar-putar. Mungkin itu karena kedangkalan intelegensi saya sehingga tidak mampu memahami karya Gabriel Marcel yang hebat dan unik ini. Bahkan mungkin kesalahpahaman saya dalam memahami isi buku ini pun rentan terjadi. Satu kali berjumpa dengan halaman terkahir buku ini ternyata, tidak lebih dari 5% yang saya pahami isinya. Lima persen itu saja kemungkinan masih menyimpan kesalahpahaman-kesalahpahaman yang tersembunyi dan tidak saya sadari.

Membuat catatan ini adalah cara saya agar dapat mengikat “hal” yang sudah saya dapat, serta dapat menampung kritik yang meluruskan salah paham saya dalam memahami buku karya Gabriel Marcel ini J

Bab 1: Pendahuluan
Setiap pemikir itu spekulatif. Ujar Marcel. Betapapun kuat dasar pemikirannya, sebenarnya mereka masih menyisakan sepetak ruang untuk rasa skeptis. Rasa skpetis ini layaknya seorang yang menyusun pin-pin bowling, yang harus siap diruntuhkan semua atau sebagian dengan sekali gelindingan bola. Dan justru inilah yang paling menggoda dari dunia pemikiran, dari Filsafat. Ruang skeptisnya!

Filsafat itu sendiri menurut Marcel akan selalu menjadi ‘alat bantu’ untuk menemukan, bukan semata-mata soal pembuktian yang ketat. Maka dari itu, seorang filsuf yang memungut kebenaran-kebenaran tertentu kemudian menjelaskan hubungan dialektis antar kebenaran-kebenaran yang dia pungut, akan beresiko justru mengubah secara mendasar tingkat kebenaran yang dipungutnya.

Tetapi meskipun begitu, menurut pengakuannya, penulisan buku ini tidak untuk menciptakan sebuah kebenaran yang pongah. Seperti madzhab pemikiran baru bernama ‘Marcellisme atau Gabrielisme” misalnya. Haha.. sebuah kata yang mengejek! Ujarnya. Buku ini dia susun secara ‘terpaksa’ dengan bahasa yang ilmiah dan sistematis untuk memenuhi permohonan Universitas Aberdeen dalam kuliah Gifford.

Marcel pula mengakui bahwa dia akan menggunakan banyak sekali metafora dan analogi-analogi dalam menjelaskan pemikirannya dalam buku ini. Hal ini terlihat wajar mengingat dia adalah seorang penikmat seni di mana metafora sering digunakan untuk menyentil emosi para pemirsa. Dia menjelaskan “Metafora yang muncul di pikiran saya adalah sebuah jalan. Seolah-olah saya telah begitu jauh mengikuti jejak di jalan itu. Jalan yang melintasi sebuah wilayah yang nampaknya belum pernah terjamah”

Akan tetapi, bukankah kita mengetahui bahwa metafora itu imajinatif? Analogi-analogi imajinatif yang biasa digunakan juga tidaklah 100% dapat digunakan untuk mensamakan kejadian yang sama dalam sebuah realitas? Bagaimana sesuatu yang sifatnya imajinatif seperti itu digunakan sebagai jalan menjelaskan realitas? Apakah mungkin misalnya, kita akan menyeberangi sungai. Lalu kita membuat sebuah jembatan imajinatif untuk menyeberang. Dapatkah kita sampai di seberang dengan jembatan imajinatif itu? Tidak, kita tidak akan sampai di seberang. Tapi kita paham bahwa kita dapat sampai di seberang jika ada jembatan.

Inilah hasil yang dikejar dalam penyelidikan filosofis: pemahaman. Bukan hasil konkrit sebagaimana penyelidikan sebuah kasus pencurian. Oleh karena itu penyelidikan filosofis membentuk mata rantai yang tidak boleh putus. Kita tidak bisa begitu saja menerima sebuah kesimpulan filosofis tanpa mengetahui bagaimana kesimpulan itu dirajut. Berbeda dengan sebuah kesimpulan dalam penyelidikan kasus pencurian. Tersangka dan alat bukti didapat, beres. Kita dapat menerimanya tanpa perlu repot mencari tahu bagaimana bukti dan proses pengejaran yang susah payah dilakukan.

Itulah mengapa, terkadang sebuah kesimpulan filosofis dari seorang filsuf atau sufi misalnya, terdengar aneh dan nyeleneh. Itu karna kita tidak mengetahui bagaimana mata rantai yang berujung kesimpulan tersebut.

Pencarian filosofis, juga tidak mempunyai konsep baku. Seorang koki misalnya, jika sedang mencari hasil yang manis maka cukup menuang gula. Semua orang bisa melakukannya karena sudah ada konsep baku. Tetapi filosofis tidak. Seorang filsuf harus mempersiapkan ‘semuanya’ dan bersiap untuk ‘segalanya’ yang dapat terjadi dalam petualangan pencariannya. Selalu ada hal-hal diluar dugaan, diluar ‘kebakuan’ yang akan ditemui dalam petualangan tersebut. Itulah mengapa sebuah hasil filosofis terkadang hanya dapat dinikmati secara pribadi (filsufnya) sendiri. Sementara orang lain yang tidak ikut dalam pengembaraannya atau mengembara di ‘hutan’ yang berbeda, tidak mampu menikmatinya.

Hal inilah yang membuat Marcel percaya diri menuliskan buku ini. Jika saja seandainya, para pembaca mempelajari buku ini, memahami pemikirannya..dan akhirnya menyalahkannya, Marcel akan menerimanya dengan lapang dada dan akan tetap menikmati ‘dirinya’.

Memang semenjak dini, kita harus selalu curiga (termasuk kepada Marcel). Kita harus ingat betapa seringnya sebuah penyelidikan filosofis terhadang sekat-sekat bahasa. Terhadang batas-batas yang menghalangi pikiran bebas. Terbentur perkara-perkara yang di-tabu-kan. Setuju atau tidak setujunya kita dengan sesuatu dikendalikan oleh hasrat yang datang dari ketakutan: takut dicap jahat, penghkhianat, atau murtad. Hal-hal itu memblokir pikiran kita dengan cara yang sangat menyedihkan.

Senyatanya, ketakutan dan prasangka-prasangka semacam itu memang sangat sulit terlepas dari pemikiran kita. Marcel mengakui bahwa melepaskan prasangka dan ketakutan itu ibarat melepas kulit dari daging yang menyebabkan darah bercucuran. Namun perlu disadari bahwa berpikir dan mengembara dalam pencarian filosofis yang dilakukan para filsuf itu pada dasarnya adalah untuk tujuan kebaikan, seperti halnya tujuan yang termaktub dalam kitab-kitab suci: kemashlahatan manusia.

Orang-orang yang berpikir untuk memenuhi kebutuhan intelektual tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang beribadah untuk memenuhi kebutuhan spiritual. Muara keduanya adalah kedamaian. Walaupun sekarang, jenis yang kedua itu jumlahnya jauh lebih banyak.

BAB 2: Sebuah Dunia yang Sakit
Sebelum terlampau jauh memasuki dunia ini, Marcel menekankan bahwa penyelidikan filosofis ini sangat teoritis yang hanya akan menarik perhatian orang-orang tertentu saja.

Marcel memulai penyelidikan dari ‘kebenaran’. Konsep kebenaran lazimnya bersifat universal—apa yang benar adalah benar bagi siapa saja. Namun dalam wacana kebenaran tidak demikian adanya: kita bisa sepakat benar langit itu berwarna biru, tapi kita tidak bisa sepakat bahwa benar biru itu indah. Kebenaran tidak selalu berada di wilayah pengetahuan. Kebenaran seringkali tertanam di wilayah keyakinan: dan hal-hal seperti itu nantinya ikut andil dalam menyakiti dunia ini.

Selama dua atau tiga abad terakhir (zaman hidup Marcel) sudah banyak sekali refleksi-refleksi kritis dengan kebenaran sebagai sasarannya. Meskipun begitu, selalu ada alasan bagi sekelompok manusia untuk mendominasi sebuah klaim kebenaran. Kebenaran dijadikan sebuah ‘benda’ untuk memukul, atau mengikat manusia-manusia lainnya. Padahal menurut Marcel, kebenaran sama sekali bukan benda yang mempunyai bentuk dan ukuran pasti. Itulah mengapa proses pencarian kebenaran jauh berbeda dengan proses pencarian sebuah objek fisik---kebenaran bukanlah sebuah benda cair yang dapat dengan mudah dituang ke dalam wadah-wadah berupa otak-otak semua manusia. Manusia bukanlah sekedar wadah kosong yang menunggu tumpahan cairan kebenaran. Manusia mempunyai ‘diri’ dengan segala kemampuannya.

Dalam dunia yang sakit, manusia menjadi wadah-wadah kosong yang hanya menunggu tumpahan doktrin tekhnis-mekanis tentang segala hal. Manusia dinilai sebagai sebuah obyek material semata. Kebahagiannya dinilai dari material fisikal berupa baju-uang-pasangan dan lain sebagainya. Surgawinyapun cukup dibeli dengan kuil-kitab-dan sesaji semata. Hal-hal yang bersifat batiniah direndahkan menjadi obyek material belaka—sampai Tuhanpun harus diwujudkan dalam bentuk sesaji-sesaji untuk di makan bersama, dan ditelajangi dalam bentuk berhala untuk diciumi bersama.

Hal-hal yang bersifat batiniah tetap terasa lembut saat berbenturan. Namun saat hal-hal batiniah itu disimbolisasikan dalam sebuah wujud material, maka bentrok akan segera terjadi dengan keras. Apalagi jika yang diwujudkan itu adalah ‘kebenaran’. Kebenaran diwujudkan menjadi pedang, senapan, hingga bom yang dengan mudah menyakiti dunia ini. Dan jika kebenaran melahirkan sesuatu yang salah seperti itu, lalu di mana “kebenaran”nya?

Apa yang sebenarnya memotivasi manusia menggunakan kebenaran sebagai senjata untuk menyakiti dunia ini? Jawabannya adalah kehendak berkuasa. Perasaan paling benar dan kehendak untuk berkuasa adalah dua roda yang saling menopang untuk menghancurkan kedamaian. Pada prinsipnya, sebuah Negara yang dijalankan oleh manusia dengan kehendak berkuasa yang besar, akan terus memproduksi kebenaran-kebenaran untuk ‘membenarkan’ kesalahan-kesalahan yang mereka perbuat. Kebenaran yang mereka produksi dipaksakan untuk ‘dibenarkan’ oleh rakyat dan tentaranya. Dari sinilah akhirnya kebenaran itu menjadi hal yang hampir tidak bisa untuk dimaknai dan diberi arti. Kebenaran hanyalah senjata dan kehendak berkuasa menjadi panglimanya.

Apa yang kemudian terjadi saat kebenaran adalah kata yang tak punya arti, tak perlu dimaknai? Saat kebenaran hanyalah sebilah senjata untuk menyakiti? Marcel mengutip sepenggal kisah novel karya C.Virgil yang berjudul The Twenty fifth hour untuk menjelaskannya. Novel itu mengisahkan seorang lelaki muda yang ditangkap Nazi karena dituduh Yahudi. Namun kemudian dia dibebaskan karena berhasil bertingkah seperti ras arya. Semua kawannya bersalah karena yahudi, dan dia selamat karena ber-ras arya. Setelah selamat dia kemudian melarikan diri dan bergabung dengan tentara amerika. Awalnya dia disambut penuh suka cita oleh tentara amerika. Dia berjuang bersama. Namun akhirnya, lelaki itu dipenjara oleh amerika karena ketahuan pernah memiliki paspor sebagai warga Rumania. Dia sahabat sebagai manusia, tetapi identitasnya adalah musuh. Pria itu kembali dapat melarikan diri, dan pergi mengunjungi istrinya yang telah diperkosa oleh tentara-tentara Rusia sehingga hamil dan melahirkan seorang anak. Lelaki itu tidak peduli siapa ayah anak itu, dari ras apa dia, dan dari warga Negara apa. Dia berharap hidup bahagia di sisa hidupnya dengan keluarga kecilnya. Namun kemudian perang kembali meletus. Tentara Amerika kembali memasukkan keluarga kecil itu ke dalam sebuah kamp karena berasal dari Negara musuh. Dan di akhir cerita, seorang tentara Amerika yang tersentuh dengan keluarga kecil ini, mengajak mereka photo bersama. “Ayo senyum!” menjadi kata terakhir novel tersebut.

Lelaki itu hidup di tengah dunia yang sakit. Manusia dilihat sebatas identitas semata. Kebenaran kosong di teriakkan para jenderal yang haus kuasa tanpa melihat ‘diri’ dari tentaranya atau musuhnya. Keberadaan diri tidak lagi berarti. Yang ada hanyalah identitas agama, Negara, ras, dan pengkerdilan lainnya.

Tetapi, jauh diluar kendali Negara..dalam diri manusia terdapat sesuatu yang melawan pemerkosaan, melawan kekerasan pada dirinya, dan tidak setuju dengan hal-hal yang menyakitkan manusia. Protes yang muncul dalam diri manusia ini membuktikan bahwa manusia sebenarnya sedang hidup di tengah dunia yang sakit. Dunia yang dihiasi kata-kata, kata-kata yang telah dihempaskan dari makna aslinya. Demokrasi, liberty, kemenangan..adalah slogan-slogan yang dihambur-hamburkan bagai virus.