Menjadi ‘diri sendiri’ adalah tong kosong yang sering ditabuh para
motivator untuk membangunkan ‘diri’ seseorang yang katanya sedang
tertidur. Tertidur dalam arti terasing, sesat identitas. Identitas dalam
kacamata motivator biasanya seputar apa kemampuanmu, apa kebudayaanmu,
dan apa ideologimu. Menjadi ‘diri sendiri’ konon katanya, adalah kunci
untuk menjalani hidup dalam peti kehidupan. Kata ‘diri sendiri’ selalu
terlihat sexi untuk menasehati dan atau memotivasi seseorang yang sedang
kebingungan tentang dirinya. Tentang aku harus bekerja apa? aku harus
mencintai siapa? Dan lain sebagainya.
Namun cukupkah ‘diri’ ini
dilihat hanya dari apa pekerjaannya? Bendera apa yang dihormatinya?
siapa namanya? atau apa warna kulitnya? Tidak. Tidak cukup. Ingat, itu
semua hanyalah identitas. Dan identitas itu muncul setelah ‘diri’ ini
ada. Diri adalah sebuah eksistensi yang kemudian memunculkan esensi
berupa identitas atau apalah-apalah. Kita punya banyak kawan yang
berwarna kulit sama, pekerjaan sama, Negara sama, agama sama, sampai
terkadang nama yang sama. Identitas sama—tapi diri kita tidak sama.
Lalu
jika identitas itu bukanlah ‘diri’ ini, lantas siapa atau apakah diri
sendiri ini sebenarnya? Berbagai macam identitas pada dasarnya dibuat
untuk menjawabnya. Agama-agama yang indah, corak bendera dari beragam
Negara, sampai nama-nama suku yang bermacam pula digunakan manusia untuk
‘mengidentifikasi’ keberadaannya sendiri. Namun kenyataannya
identitas-identitas itu justru semakin mengaburkan ‘diri’ ini yang
sebenarnya. Memperkeruh. Mengacaukan keindahan kehidupan. Bentrok
identitas menjadi penyakit kronis sebuah dunia yang menua.
Gabriel
Marcel adalah salah seorang yang berusaha mencari tahu tentang ‘diri’
ini yang sebenarnya. Lahir di Paris, Prancis pada tahun 1889.
Mendapatkan gelar sarjana filsafat dari universtas Sorbone pada usia 20
tahun. Pada awalnya dia tertarik pada filsafat idealisme, namun konflik
antar manusia yang terus berkecamuk di sekitarnya membuatnya berpikir
ulang hingga akhirnya dia beralih ke eksistensialisme.
Saat
perang dunia 1 meletus, dia ikut bekerja di palang merah. Seringkali dia
ikut pencarian orang hilang dengan hanya berbekal selembar identitas
terkait orang yang sedang dicari. Saat manusia yang hilang itu tidak
ditemukan, maka cukuplah identitas itu digunakan dalam setiap prosesi,
baik penguburan atau penerimaan tanda jasa. Pada saat seperti itulah dia
kemudian mulai berpikir bahwa tidaklah cukup selembar identitas itu
menggantikan manusia sejati yang sekarang entah di mana. Manusia konkrit
itu tetap ada, entah di mana. Dan manusia itu adalah eksistensi yang
berbeda sama sekali dari lembaran identitas itu. Mungkin lembaran
identitas itu cukup untuk menggantikan secara formalitas untuk
kepentingan administrasi atau seremonial. Tapi tidak cukup untuk
‘keberadaan’ itu sendiri.
Kegelisahannya kemudian dituang dalam
sebuah buku berjudul: Le mistere de L’etre (Prancis), Mystery Of Being
(Inggris), Misteri Eksistensi (Indonesia). Gabriel Marcel adalah orang
yang sangat menyukai seni, utamanya drama. Itulah mengapa sebagian besar
karyanya berupa naskah drama dan cenderung enggan menuliskan
pemikirannya dalam bentuk yang ilmiah dan sistematis. Kering.
Buku
berjudul Misteri Eksistensi yang penulis pinjam ini, jujur saja terasa
begitu berat. Rumit. Berputar-putar. Mungkin itu karena kedangkalan
intelegensi saya sehingga tidak mampu memahami karya Gabriel Marcel yang
hebat dan unik ini. Bahkan mungkin kesalahpahaman saya dalam memahami
isi buku ini pun rentan terjadi. Satu kali berjumpa dengan halaman
terkahir buku ini ternyata, tidak lebih dari 5% yang saya pahami isinya.
Lima persen itu saja kemungkinan masih menyimpan
kesalahpahaman-kesalahpahaman yang tersembunyi dan tidak saya sadari.
Membuat
catatan ini adalah cara saya agar dapat mengikat “hal” yang sudah saya
dapat, serta dapat menampung kritik yang meluruskan salah paham saya
dalam memahami buku karya Gabriel Marcel ini J
Bab 1: Pendahuluan
Setiap
pemikir itu spekulatif. Ujar Marcel. Betapapun kuat dasar pemikirannya,
sebenarnya mereka masih menyisakan sepetak ruang untuk rasa skeptis.
Rasa skpetis ini layaknya seorang yang menyusun pin-pin bowling, yang
harus siap diruntuhkan semua atau sebagian dengan sekali gelindingan
bola. Dan justru inilah yang paling menggoda dari dunia pemikiran, dari
Filsafat. Ruang skeptisnya!
Filsafat itu sendiri menurut Marcel
akan selalu menjadi ‘alat bantu’ untuk menemukan, bukan semata-mata soal
pembuktian yang ketat. Maka dari itu, seorang filsuf yang memungut
kebenaran-kebenaran tertentu kemudian menjelaskan hubungan dialektis
antar kebenaran-kebenaran yang dia pungut, akan beresiko justru mengubah
secara mendasar tingkat kebenaran yang dipungutnya.
Tetapi
meskipun begitu, menurut pengakuannya, penulisan buku ini tidak untuk
menciptakan sebuah kebenaran yang pongah. Seperti madzhab pemikiran baru
bernama ‘Marcellisme atau Gabrielisme” misalnya. Haha.. sebuah kata
yang mengejek! Ujarnya. Buku ini dia susun secara ‘terpaksa’ dengan
bahasa yang ilmiah dan sistematis untuk memenuhi permohonan Universitas
Aberdeen dalam kuliah Gifford.
Marcel pula mengakui bahwa dia
akan menggunakan banyak sekali metafora dan analogi-analogi dalam
menjelaskan pemikirannya dalam buku ini. Hal ini terlihat wajar
mengingat dia adalah seorang penikmat seni di mana metafora sering
digunakan untuk menyentil emosi para pemirsa. Dia menjelaskan “Metafora
yang muncul di pikiran saya adalah sebuah jalan. Seolah-olah saya telah
begitu jauh mengikuti jejak di jalan itu. Jalan yang melintasi sebuah
wilayah yang nampaknya belum pernah terjamah”
Akan tetapi,
bukankah kita mengetahui bahwa metafora itu imajinatif? Analogi-analogi
imajinatif yang biasa digunakan juga tidaklah 100% dapat digunakan untuk
mensamakan kejadian yang sama dalam sebuah realitas? Bagaimana sesuatu
yang sifatnya imajinatif seperti itu digunakan sebagai jalan menjelaskan
realitas? Apakah mungkin misalnya, kita akan menyeberangi sungai. Lalu
kita membuat sebuah jembatan imajinatif untuk menyeberang. Dapatkah kita
sampai di seberang dengan jembatan imajinatif itu? Tidak, kita tidak
akan sampai di seberang. Tapi kita paham bahwa kita dapat sampai di
seberang jika ada jembatan.
Inilah hasil yang dikejar dalam
penyelidikan filosofis: pemahaman. Bukan hasil konkrit sebagaimana
penyelidikan sebuah kasus pencurian. Oleh karena itu penyelidikan
filosofis membentuk mata rantai yang tidak boleh putus. Kita tidak bisa
begitu saja menerima sebuah kesimpulan filosofis tanpa mengetahui
bagaimana kesimpulan itu dirajut. Berbeda dengan sebuah kesimpulan dalam
penyelidikan kasus pencurian. Tersangka dan alat bukti didapat, beres.
Kita dapat menerimanya tanpa perlu repot mencari tahu bagaimana bukti
dan proses pengejaran yang susah payah dilakukan.
Itulah
mengapa, terkadang sebuah kesimpulan filosofis dari seorang filsuf atau
sufi misalnya, terdengar aneh dan nyeleneh. Itu karna kita tidak
mengetahui bagaimana mata rantai yang berujung kesimpulan tersebut.
Pencarian
filosofis, juga tidak mempunyai konsep baku. Seorang koki misalnya,
jika sedang mencari hasil yang manis maka cukup menuang gula. Semua
orang bisa melakukannya karena sudah ada konsep baku. Tetapi filosofis
tidak. Seorang filsuf harus mempersiapkan ‘semuanya’ dan bersiap untuk
‘segalanya’ yang dapat terjadi dalam petualangan pencariannya. Selalu
ada hal-hal diluar dugaan, diluar ‘kebakuan’ yang akan ditemui dalam
petualangan tersebut. Itulah mengapa sebuah hasil filosofis terkadang
hanya dapat dinikmati secara pribadi (filsufnya) sendiri. Sementara
orang lain yang tidak ikut dalam pengembaraannya atau mengembara di
‘hutan’ yang berbeda, tidak mampu menikmatinya.
Hal inilah yang
membuat Marcel percaya diri menuliskan buku ini. Jika saja seandainya,
para pembaca mempelajari buku ini, memahami pemikirannya..dan akhirnya
menyalahkannya, Marcel akan menerimanya dengan lapang dada dan akan
tetap menikmati ‘dirinya’.
Memang semenjak dini, kita harus
selalu curiga (termasuk kepada Marcel). Kita harus ingat betapa
seringnya sebuah penyelidikan filosofis terhadang sekat-sekat bahasa.
Terhadang batas-batas yang menghalangi pikiran bebas. Terbentur
perkara-perkara yang di-tabu-kan. Setuju atau tidak setujunya kita
dengan sesuatu dikendalikan oleh hasrat yang datang dari ketakutan:
takut dicap jahat, penghkhianat, atau murtad. Hal-hal itu memblokir
pikiran kita dengan cara yang sangat menyedihkan.
Senyatanya,
ketakutan dan prasangka-prasangka semacam itu memang sangat sulit
terlepas dari pemikiran kita. Marcel mengakui bahwa melepaskan prasangka
dan ketakutan itu ibarat melepas kulit dari daging yang menyebabkan
darah bercucuran. Namun perlu disadari bahwa berpikir dan mengembara
dalam pencarian filosofis yang dilakukan para filsuf itu pada dasarnya
adalah untuk tujuan kebaikan, seperti halnya tujuan yang termaktub dalam
kitab-kitab suci: kemashlahatan manusia.
Orang-orang yang
berpikir untuk memenuhi kebutuhan intelektual tidak jauh berbeda dengan
orang-orang yang beribadah untuk memenuhi kebutuhan spiritual. Muara
keduanya adalah kedamaian. Walaupun sekarang, jenis yang kedua itu
jumlahnya jauh lebih banyak.
BAB 2: Sebuah Dunia yang Sakit
Sebelum
terlampau jauh memasuki dunia ini, Marcel menekankan bahwa penyelidikan
filosofis ini sangat teoritis yang hanya akan menarik perhatian
orang-orang tertentu saja.
Marcel memulai penyelidikan dari
‘kebenaran’. Konsep kebenaran lazimnya bersifat universal—apa yang benar
adalah benar bagi siapa saja. Namun dalam wacana kebenaran tidak
demikian adanya: kita bisa sepakat benar langit itu berwarna biru, tapi
kita tidak bisa sepakat bahwa benar biru itu indah. Kebenaran tidak
selalu berada di wilayah pengetahuan. Kebenaran seringkali tertanam di
wilayah keyakinan: dan hal-hal seperti itu nantinya ikut andil dalam
menyakiti dunia ini.
Selama dua atau tiga abad terakhir (zaman
hidup Marcel) sudah banyak sekali refleksi-refleksi kritis dengan
kebenaran sebagai sasarannya. Meskipun begitu, selalu ada alasan bagi
sekelompok manusia untuk mendominasi sebuah klaim kebenaran. Kebenaran
dijadikan sebuah ‘benda’ untuk memukul, atau mengikat manusia-manusia
lainnya. Padahal menurut Marcel, kebenaran sama sekali bukan benda yang
mempunyai bentuk dan ukuran pasti. Itulah mengapa proses pencarian
kebenaran jauh berbeda dengan proses pencarian sebuah objek
fisik---kebenaran bukanlah sebuah benda cair yang dapat dengan mudah
dituang ke dalam wadah-wadah berupa otak-otak semua manusia. Manusia
bukanlah sekedar wadah kosong yang menunggu tumpahan cairan kebenaran.
Manusia mempunyai ‘diri’ dengan segala kemampuannya.
Dalam dunia
yang sakit, manusia menjadi wadah-wadah kosong yang hanya menunggu
tumpahan doktrin tekhnis-mekanis tentang segala hal. Manusia dinilai
sebagai sebuah obyek material semata. Kebahagiannya dinilai dari
material fisikal berupa baju-uang-pasangan dan lain sebagainya.
Surgawinyapun cukup dibeli dengan kuil-kitab-dan sesaji semata. Hal-hal
yang bersifat batiniah direndahkan menjadi obyek material belaka—sampai
Tuhanpun harus diwujudkan dalam bentuk sesaji-sesaji untuk di makan
bersama, dan ditelajangi dalam bentuk berhala untuk diciumi bersama.
Hal-hal
yang bersifat batiniah tetap terasa lembut saat berbenturan. Namun saat
hal-hal batiniah itu disimbolisasikan dalam sebuah wujud material, maka
bentrok akan segera terjadi dengan keras. Apalagi jika yang diwujudkan
itu adalah ‘kebenaran’. Kebenaran diwujudkan menjadi pedang, senapan,
hingga bom yang dengan mudah menyakiti dunia ini. Dan jika kebenaran
melahirkan sesuatu yang salah seperti itu, lalu di mana “kebenaran”nya?
Apa
yang sebenarnya memotivasi manusia menggunakan kebenaran sebagai
senjata untuk menyakiti dunia ini? Jawabannya adalah kehendak berkuasa.
Perasaan paling benar dan kehendak untuk berkuasa adalah dua roda yang
saling menopang untuk menghancurkan kedamaian. Pada prinsipnya, sebuah
Negara yang dijalankan oleh manusia dengan kehendak berkuasa yang besar,
akan terus memproduksi kebenaran-kebenaran untuk ‘membenarkan’
kesalahan-kesalahan yang mereka perbuat. Kebenaran yang mereka produksi
dipaksakan untuk ‘dibenarkan’ oleh rakyat dan tentaranya. Dari sinilah
akhirnya kebenaran itu menjadi hal yang hampir tidak bisa untuk dimaknai
dan diberi arti. Kebenaran hanyalah senjata dan kehendak berkuasa
menjadi panglimanya.
Apa yang kemudian terjadi saat kebenaran
adalah kata yang tak punya arti, tak perlu dimaknai? Saat kebenaran
hanyalah sebilah senjata untuk menyakiti? Marcel mengutip sepenggal
kisah novel karya C.Virgil yang berjudul The Twenty fifth hour untuk
menjelaskannya. Novel itu mengisahkan seorang lelaki muda yang ditangkap
Nazi karena dituduh Yahudi. Namun kemudian dia dibebaskan karena
berhasil bertingkah seperti ras arya. Semua kawannya bersalah karena
yahudi, dan dia selamat karena ber-ras arya. Setelah selamat dia
kemudian melarikan diri dan bergabung dengan tentara amerika. Awalnya
dia disambut penuh suka cita oleh tentara amerika. Dia berjuang bersama.
Namun akhirnya, lelaki itu dipenjara oleh amerika karena ketahuan
pernah memiliki paspor sebagai warga Rumania. Dia sahabat sebagai
manusia, tetapi identitasnya adalah musuh. Pria itu kembali dapat
melarikan diri, dan pergi mengunjungi istrinya yang telah diperkosa oleh
tentara-tentara Rusia sehingga hamil dan melahirkan seorang anak.
Lelaki itu tidak peduli siapa ayah anak itu, dari ras apa dia, dan dari
warga Negara apa. Dia berharap hidup bahagia di sisa hidupnya dengan
keluarga kecilnya. Namun kemudian perang kembali meletus. Tentara
Amerika kembali memasukkan keluarga kecil itu ke dalam sebuah kamp
karena berasal dari Negara musuh. Dan di akhir cerita, seorang tentara
Amerika yang tersentuh dengan keluarga kecil ini, mengajak mereka photo
bersama. “Ayo senyum!” menjadi kata terakhir novel tersebut.
Lelaki
itu hidup di tengah dunia yang sakit. Manusia dilihat sebatas identitas
semata. Kebenaran kosong di teriakkan para jenderal yang haus kuasa
tanpa melihat ‘diri’ dari tentaranya atau musuhnya. Keberadaan diri
tidak lagi berarti. Yang ada hanyalah identitas agama, Negara, ras, dan
pengkerdilan lainnya.
Tetapi, jauh diluar kendali Negara..dalam
diri manusia terdapat sesuatu yang melawan pemerkosaan, melawan
kekerasan pada dirinya, dan tidak setuju dengan hal-hal yang menyakitkan
manusia. Protes yang muncul dalam diri manusia ini membuktikan bahwa
manusia sebenarnya sedang hidup di tengah dunia yang sakit. Dunia yang
dihiasi kata-kata, kata-kata yang telah dihempaskan dari makna aslinya.
Demokrasi, liberty, kemenangan..adalah slogan-slogan yang
dihambur-hamburkan bagai virus.