Menjadi ‘diri sendiri’ adalah tong kosong yang sering ditabuh para
motivator untuk membangunkan ‘diri’ seseorang yang katanya sedang
tertidur. Tertidur dalam arti terasing, sesat identitas. Identitas dalam
kacamata motivator biasanya seputar apa kemampuanmu, apa kebudayaanmu,
dan apa ideologimu. Menjadi ‘diri sendiri’ konon katanya, adalah kunci
untuk menjalani hidup dalam peti kehidupan. Kata ‘diri sendiri’ selalu
terlihat sexi untuk menasehati dan atau memotivasi seseorang yang sedang
kebingungan tentang dirinya. Tentang aku harus bekerja apa? aku harus
mencintai siapa? Dan lain sebagainya.
Namun cukupkah ‘diri’ ini
dilihat hanya dari apa pekerjaannya? Bendera apa yang dihormatinya?
siapa namanya? atau apa warna kulitnya? Tidak. Tidak cukup. Ingat, itu
semua hanyalah identitas. Dan identitas itu muncul setelah ‘diri’ ini
ada. Diri adalah sebuah eksistensi yang kemudian memunculkan esensi
berupa identitas atau apalah-apalah. Kita punya banyak kawan yang
berwarna kulit sama, pekerjaan sama, Negara sama, agama sama, sampai
terkadang nama yang sama. Identitas sama—tapi diri kita tidak sama.
Lalu
jika identitas itu bukanlah ‘diri’ ini, lantas siapa atau apakah diri
sendiri ini sebenarnya? Berbagai macam identitas pada dasarnya dibuat
untuk menjawabnya. Agama-agama yang indah, corak bendera dari beragam
Negara, sampai nama-nama suku yang bermacam pula digunakan manusia untuk
‘mengidentifikasi’ keberadaannya sendiri. Namun kenyataannya
identitas-identitas itu justru semakin mengaburkan ‘diri’ ini yang
sebenarnya. Memperkeruh. Mengacaukan keindahan kehidupan. Bentrok
identitas menjadi penyakit kronis sebuah dunia yang menua.
Gabriel
Marcel adalah salah seorang yang berusaha mencari tahu tentang ‘diri’
ini yang sebenarnya. Lahir di Paris, Prancis pada tahun 1889.
Mendapatkan gelar sarjana filsafat dari universtas Sorbone pada usia 20
tahun. Pada awalnya dia tertarik pada filsafat idealisme, namun konflik
antar manusia yang terus berkecamuk di sekitarnya membuatnya berpikir
ulang hingga akhirnya dia beralih ke eksistensialisme.
Saat
perang dunia 1 meletus, dia ikut bekerja di palang merah. Seringkali dia
ikut pencarian orang hilang dengan hanya berbekal selembar identitas
terkait orang yang sedang dicari. Saat manusia yang hilang itu tidak
ditemukan, maka cukuplah identitas itu digunakan dalam setiap prosesi,
baik penguburan atau penerimaan tanda jasa. Pada saat seperti itulah dia
kemudian mulai berpikir bahwa tidaklah cukup selembar identitas itu
menggantikan manusia sejati yang sekarang entah di mana. Manusia konkrit
itu tetap ada, entah di mana. Dan manusia itu adalah eksistensi yang
berbeda sama sekali dari lembaran identitas itu. Mungkin lembaran
identitas itu cukup untuk menggantikan secara formalitas untuk
kepentingan administrasi atau seremonial. Tapi tidak cukup untuk
‘keberadaan’ itu sendiri.
Kegelisahannya kemudian dituang dalam
sebuah buku berjudul: Le mistere de L’etre (Prancis), Mystery Of Being
(Inggris), Misteri Eksistensi (Indonesia). Gabriel Marcel adalah orang
yang sangat menyukai seni, utamanya drama. Itulah mengapa sebagian besar
karyanya berupa naskah drama dan cenderung enggan menuliskan
pemikirannya dalam bentuk yang ilmiah dan sistematis. Kering.
Buku
berjudul Misteri Eksistensi yang penulis pinjam ini, jujur saja terasa
begitu berat. Rumit. Berputar-putar. Mungkin itu karena kedangkalan
intelegensi saya sehingga tidak mampu memahami karya Gabriel Marcel yang
hebat dan unik ini. Bahkan mungkin kesalahpahaman saya dalam memahami
isi buku ini pun rentan terjadi. Satu kali berjumpa dengan halaman
terkahir buku ini ternyata, tidak lebih dari 5% yang saya pahami isinya.
Lima persen itu saja kemungkinan masih menyimpan
kesalahpahaman-kesalahpahaman yang tersembunyi dan tidak saya sadari.
Membuat
catatan ini adalah cara saya agar dapat mengikat “hal” yang sudah saya
dapat, serta dapat menampung kritik yang meluruskan salah paham saya
dalam memahami buku karya Gabriel Marcel ini J
Bab 1: Pendahuluan
Setiap
pemikir itu spekulatif. Ujar Marcel. Betapapun kuat dasar pemikirannya,
sebenarnya mereka masih menyisakan sepetak ruang untuk rasa skeptis.
Rasa skpetis ini layaknya seorang yang menyusun pin-pin bowling, yang
harus siap diruntuhkan semua atau sebagian dengan sekali gelindingan
bola. Dan justru inilah yang paling menggoda dari dunia pemikiran, dari
Filsafat. Ruang skeptisnya!
Filsafat itu sendiri menurut Marcel
akan selalu menjadi ‘alat bantu’ untuk menemukan, bukan semata-mata soal
pembuktian yang ketat. Maka dari itu, seorang filsuf yang memungut
kebenaran-kebenaran tertentu kemudian menjelaskan hubungan dialektis
antar kebenaran-kebenaran yang dia pungut, akan beresiko justru mengubah
secara mendasar tingkat kebenaran yang dipungutnya.
Tetapi
meskipun begitu, menurut pengakuannya, penulisan buku ini tidak untuk
menciptakan sebuah kebenaran yang pongah. Seperti madzhab pemikiran baru
bernama ‘Marcellisme atau Gabrielisme” misalnya. Haha.. sebuah kata
yang mengejek! Ujarnya. Buku ini dia susun secara ‘terpaksa’ dengan
bahasa yang ilmiah dan sistematis untuk memenuhi permohonan Universitas
Aberdeen dalam kuliah Gifford.
Marcel pula mengakui bahwa dia
akan menggunakan banyak sekali metafora dan analogi-analogi dalam
menjelaskan pemikirannya dalam buku ini. Hal ini terlihat wajar
mengingat dia adalah seorang penikmat seni di mana metafora sering
digunakan untuk menyentil emosi para pemirsa. Dia menjelaskan “Metafora
yang muncul di pikiran saya adalah sebuah jalan. Seolah-olah saya telah
begitu jauh mengikuti jejak di jalan itu. Jalan yang melintasi sebuah
wilayah yang nampaknya belum pernah terjamah”
Akan tetapi,
bukankah kita mengetahui bahwa metafora itu imajinatif? Analogi-analogi
imajinatif yang biasa digunakan juga tidaklah 100% dapat digunakan untuk
mensamakan kejadian yang sama dalam sebuah realitas? Bagaimana sesuatu
yang sifatnya imajinatif seperti itu digunakan sebagai jalan menjelaskan
realitas? Apakah mungkin misalnya, kita akan menyeberangi sungai. Lalu
kita membuat sebuah jembatan imajinatif untuk menyeberang. Dapatkah kita
sampai di seberang dengan jembatan imajinatif itu? Tidak, kita tidak
akan sampai di seberang. Tapi kita paham bahwa kita dapat sampai di
seberang jika ada jembatan.
Inilah hasil yang dikejar dalam
penyelidikan filosofis: pemahaman. Bukan hasil konkrit sebagaimana
penyelidikan sebuah kasus pencurian. Oleh karena itu penyelidikan
filosofis membentuk mata rantai yang tidak boleh putus. Kita tidak bisa
begitu saja menerima sebuah kesimpulan filosofis tanpa mengetahui
bagaimana kesimpulan itu dirajut. Berbeda dengan sebuah kesimpulan dalam
penyelidikan kasus pencurian. Tersangka dan alat bukti didapat, beres.
Kita dapat menerimanya tanpa perlu repot mencari tahu bagaimana bukti
dan proses pengejaran yang susah payah dilakukan.
Itulah
mengapa, terkadang sebuah kesimpulan filosofis dari seorang filsuf atau
sufi misalnya, terdengar aneh dan nyeleneh. Itu karna kita tidak
mengetahui bagaimana mata rantai yang berujung kesimpulan tersebut.
Pencarian
filosofis, juga tidak mempunyai konsep baku. Seorang koki misalnya,
jika sedang mencari hasil yang manis maka cukup menuang gula. Semua
orang bisa melakukannya karena sudah ada konsep baku. Tetapi filosofis
tidak. Seorang filsuf harus mempersiapkan ‘semuanya’ dan bersiap untuk
‘segalanya’ yang dapat terjadi dalam petualangan pencariannya. Selalu
ada hal-hal diluar dugaan, diluar ‘kebakuan’ yang akan ditemui dalam
petualangan tersebut. Itulah mengapa sebuah hasil filosofis terkadang
hanya dapat dinikmati secara pribadi (filsufnya) sendiri. Sementara
orang lain yang tidak ikut dalam pengembaraannya atau mengembara di
‘hutan’ yang berbeda, tidak mampu menikmatinya.
Hal inilah yang
membuat Marcel percaya diri menuliskan buku ini. Jika saja seandainya,
para pembaca mempelajari buku ini, memahami pemikirannya..dan akhirnya
menyalahkannya, Marcel akan menerimanya dengan lapang dada dan akan
tetap menikmati ‘dirinya’.
Memang semenjak dini, kita harus
selalu curiga (termasuk kepada Marcel). Kita harus ingat betapa
seringnya sebuah penyelidikan filosofis terhadang sekat-sekat bahasa.
Terhadang batas-batas yang menghalangi pikiran bebas. Terbentur
perkara-perkara yang di-tabu-kan. Setuju atau tidak setujunya kita
dengan sesuatu dikendalikan oleh hasrat yang datang dari ketakutan:
takut dicap jahat, penghkhianat, atau murtad. Hal-hal itu memblokir
pikiran kita dengan cara yang sangat menyedihkan.
Senyatanya,
ketakutan dan prasangka-prasangka semacam itu memang sangat sulit
terlepas dari pemikiran kita. Marcel mengakui bahwa melepaskan prasangka
dan ketakutan itu ibarat melepas kulit dari daging yang menyebabkan
darah bercucuran. Namun perlu disadari bahwa berpikir dan mengembara
dalam pencarian filosofis yang dilakukan para filsuf itu pada dasarnya
adalah untuk tujuan kebaikan, seperti halnya tujuan yang termaktub dalam
kitab-kitab suci: kemashlahatan manusia.
Orang-orang yang
berpikir untuk memenuhi kebutuhan intelektual tidak jauh berbeda dengan
orang-orang yang beribadah untuk memenuhi kebutuhan spiritual. Muara
keduanya adalah kedamaian. Walaupun sekarang, jenis yang kedua itu
jumlahnya jauh lebih banyak.
BAB 2: Sebuah Dunia yang Sakit
Sebelum
terlampau jauh memasuki dunia ini, Marcel menekankan bahwa penyelidikan
filosofis ini sangat teoritis yang hanya akan menarik perhatian
orang-orang tertentu saja.
Marcel memulai penyelidikan dari
‘kebenaran’. Konsep kebenaran lazimnya bersifat universal—apa yang benar
adalah benar bagi siapa saja. Namun dalam wacana kebenaran tidak
demikian adanya: kita bisa sepakat benar langit itu berwarna biru, tapi
kita tidak bisa sepakat bahwa benar biru itu indah. Kebenaran tidak
selalu berada di wilayah pengetahuan. Kebenaran seringkali tertanam di
wilayah keyakinan: dan hal-hal seperti itu nantinya ikut andil dalam
menyakiti dunia ini.
Selama dua atau tiga abad terakhir (zaman
hidup Marcel) sudah banyak sekali refleksi-refleksi kritis dengan
kebenaran sebagai sasarannya. Meskipun begitu, selalu ada alasan bagi
sekelompok manusia untuk mendominasi sebuah klaim kebenaran. Kebenaran
dijadikan sebuah ‘benda’ untuk memukul, atau mengikat manusia-manusia
lainnya. Padahal menurut Marcel, kebenaran sama sekali bukan benda yang
mempunyai bentuk dan ukuran pasti. Itulah mengapa proses pencarian
kebenaran jauh berbeda dengan proses pencarian sebuah objek
fisik---kebenaran bukanlah sebuah benda cair yang dapat dengan mudah
dituang ke dalam wadah-wadah berupa otak-otak semua manusia. Manusia
bukanlah sekedar wadah kosong yang menunggu tumpahan cairan kebenaran.
Manusia mempunyai ‘diri’ dengan segala kemampuannya.
Dalam dunia
yang sakit, manusia menjadi wadah-wadah kosong yang hanya menunggu
tumpahan doktrin tekhnis-mekanis tentang segala hal. Manusia dinilai
sebagai sebuah obyek material semata. Kebahagiannya dinilai dari
material fisikal berupa baju-uang-pasangan dan lain sebagainya.
Surgawinyapun cukup dibeli dengan kuil-kitab-dan sesaji semata. Hal-hal
yang bersifat batiniah direndahkan menjadi obyek material belaka—sampai
Tuhanpun harus diwujudkan dalam bentuk sesaji-sesaji untuk di makan
bersama, dan ditelajangi dalam bentuk berhala untuk diciumi bersama.
Hal-hal
yang bersifat batiniah tetap terasa lembut saat berbenturan. Namun saat
hal-hal batiniah itu disimbolisasikan dalam sebuah wujud material, maka
bentrok akan segera terjadi dengan keras. Apalagi jika yang diwujudkan
itu adalah ‘kebenaran’. Kebenaran diwujudkan menjadi pedang, senapan,
hingga bom yang dengan mudah menyakiti dunia ini. Dan jika kebenaran
melahirkan sesuatu yang salah seperti itu, lalu di mana “kebenaran”nya?
Apa
yang sebenarnya memotivasi manusia menggunakan kebenaran sebagai
senjata untuk menyakiti dunia ini? Jawabannya adalah kehendak berkuasa.
Perasaan paling benar dan kehendak untuk berkuasa adalah dua roda yang
saling menopang untuk menghancurkan kedamaian. Pada prinsipnya, sebuah
Negara yang dijalankan oleh manusia dengan kehendak berkuasa yang besar,
akan terus memproduksi kebenaran-kebenaran untuk ‘membenarkan’
kesalahan-kesalahan yang mereka perbuat. Kebenaran yang mereka produksi
dipaksakan untuk ‘dibenarkan’ oleh rakyat dan tentaranya. Dari sinilah
akhirnya kebenaran itu menjadi hal yang hampir tidak bisa untuk dimaknai
dan diberi arti. Kebenaran hanyalah senjata dan kehendak berkuasa
menjadi panglimanya.
Apa yang kemudian terjadi saat kebenaran
adalah kata yang tak punya arti, tak perlu dimaknai? Saat kebenaran
hanyalah sebilah senjata untuk menyakiti? Marcel mengutip sepenggal
kisah novel karya C.Virgil yang berjudul The Twenty fifth hour untuk
menjelaskannya. Novel itu mengisahkan seorang lelaki muda yang ditangkap
Nazi karena dituduh Yahudi. Namun kemudian dia dibebaskan karena
berhasil bertingkah seperti ras arya. Semua kawannya bersalah karena
yahudi, dan dia selamat karena ber-ras arya. Setelah selamat dia
kemudian melarikan diri dan bergabung dengan tentara amerika. Awalnya
dia disambut penuh suka cita oleh tentara amerika. Dia berjuang bersama.
Namun akhirnya, lelaki itu dipenjara oleh amerika karena ketahuan
pernah memiliki paspor sebagai warga Rumania. Dia sahabat sebagai
manusia, tetapi identitasnya adalah musuh. Pria itu kembali dapat
melarikan diri, dan pergi mengunjungi istrinya yang telah diperkosa oleh
tentara-tentara Rusia sehingga hamil dan melahirkan seorang anak.
Lelaki itu tidak peduli siapa ayah anak itu, dari ras apa dia, dan dari
warga Negara apa. Dia berharap hidup bahagia di sisa hidupnya dengan
keluarga kecilnya. Namun kemudian perang kembali meletus. Tentara
Amerika kembali memasukkan keluarga kecil itu ke dalam sebuah kamp
karena berasal dari Negara musuh. Dan di akhir cerita, seorang tentara
Amerika yang tersentuh dengan keluarga kecil ini, mengajak mereka photo
bersama. “Ayo senyum!” menjadi kata terakhir novel tersebut.
Lelaki
itu hidup di tengah dunia yang sakit. Manusia dilihat sebatas identitas
semata. Kebenaran kosong di teriakkan para jenderal yang haus kuasa
tanpa melihat ‘diri’ dari tentaranya atau musuhnya. Keberadaan diri
tidak lagi berarti. Yang ada hanyalah identitas agama, Negara, ras, dan
pengkerdilan lainnya.
Tetapi, jauh diluar kendali Negara..dalam
diri manusia terdapat sesuatu yang melawan pemerkosaan, melawan
kekerasan pada dirinya, dan tidak setuju dengan hal-hal yang menyakitkan
manusia. Protes yang muncul dalam diri manusia ini membuktikan bahwa
manusia sebenarnya sedang hidup di tengah dunia yang sakit. Dunia yang
dihiasi kata-kata, kata-kata yang telah dihempaskan dari makna aslinya.
Demokrasi, liberty, kemenangan..adalah slogan-slogan yang
dihambur-hamburkan bagai virus.
KAMPOENG IDE
Jumat, 28 Agustus 2015
Rabu, 01 Juli 2015
TUHAN DALAM TOPLES
Pada mulanya..manusia mengakui adanya satu Tuhan tertinggi yang
menjadi penyebab segala sesuatu. Dia tidak terwakili oleh gambaran apa pun, tidak memiliki kuil khusus untukNya, atau pendeta yang mengabdi kepadanya. Dia
terlalu luhur untuk dikandangkan dalam sepetak kuil kecil, terlalu luhur untuk
ibadah manusia yang tak memadai.
Begitulah
kira-kira sebuah teori yang dijelaskan oleh Wilhelm Schmidt dalam The Origin of
the Idea of God, yang pertama kali terbit pada 1912. Teori Schmidt ini dikutip
oleh Karen Amstrong dalam bukunya yang berjudul Histroy Of God. Schmidt yang
meneliti suku-suku tertua di afrika menyatakan bahwa telah ada suatu monoteisme
primitif sebelum manusia mulai menyembah banyak dewa. Satu Tuhan yang disembah
ini adalah sosok tertinggi yang teramat mulia, tak dapat tergambarkan dengan
apapun, tak dapat dikhayalkan dengan rupa yang bagaimanapun bentuknya. Manusia pernah
mempercayai konsep Tuhan yang seperti ini, menyembahnya, menakutinya, berharap dan berdo’a kepadanya. Namun Tuhan yang begitu
tinggi ini akhirnya perlahan berubah.
Perubahan terjadi
karena tidak semua manusia mampu mencapai tingkat spiritual tinggi untuk dapat “memahami”
akan Tuhan yang seperti itu. Banyak manusia yang mengalami kebingungan teologi
dan terlalu malas untuk merenungi nilai-nilai keTuhanan yang universal: terlalu
rumit dan abstrak. Ya, banyak orang memerlukan sebuah penjelasan konkrit berupa
“symbol-simbol” ketuhanan. Simbol ini memudahkan mereka mengenali tuhan yang
sedang mereka cari. Seiring perkembangan kreasi dan budaya manusia, maka simbol-simbol
ini perlahan kian beragam jenisnya. Manusia mulai membuat baju, membuat rumah,
dan membuat nama-nama yang indah untuk Tuhan yang mereka sembah: hingga
akhirnya Tuhan menjadi berbeda-beda----yang kemudian diserap dalam agama-agama lengkap dengan segala
atribut keagamaannya.
Yang menarik
menurut penulis adalah, saat ini dapat kita lihat secara jelas bahwa kemudian, simbol-simbol
itu justru menjadi acuan kesalehan manusia. Cara mudah manusia beragama adalah
memakai kaos dengan simbol-simbol suatu agama. cara indah beragama adalah
dengan memperindah “kandang-kandang Tuhan” dan lain sebagainya. padahal simbol hanya
berfungsi sebagai jalan untuk mengenali Tuhan yang sebenarnya. Tuhan yang maha
segalanya, yang Ghaib, yang maha tinggi tak terjangkau, yang maha besar tak
terukur. Ini adalah dasar dari sebuah agama: Tuhan. Seperti yang diucapkan oleh Rudolf Otto dalam bukunya
The Idea Of The Holy, bahwa rasa tentang yang ghaib adalah dasar dari sebuah
agama. agama tidak didasarkan pada simbol-simbol buatan manusia, agama tidak
berdasar pada pernak-pernik buatan manusia.
Apabila manusia
hanya menjadi budak-budak simbol keagamaan, maka dia sebenarnya sedang
mengundurkan diri sebagai hamba Tuhan yang maha segalanya. Tuhan itu satu, ESA.
Dan dalam perjalanan sejarah, manusia telah membuat simbol-simbol yang beraneka
rupa. Dengan kata lain, saat ada perseteruan antar simbol-simbol keagamaan, itu
adalah perang antar simbol, antar manusia. Bukan perang antar Tuhan karena Tuhan
itu Satu, tidak terlawan, tidak tertandingi.
Manusia harus
segera mengakhiri pertikaian antar simbol keagamaan yang mengatasnamakan Tuhan.
Karena perseteruan itu justru mencerabut dasar keagamaan. Kita adalah hamba
Tuhan, bukan budak simbol. Mari kita berhenti mengkerdilkan Tuhan. Mari kita
mulai kembali ke maha luasnya dekapan Tuhan. Apapun agama anda..agama yang
mengajarkan tentang nilai-nilai keTuhanan, janganlah berhenti dan menyembah
simbol. Teruslah berjalan dan menggapai Tuhan.
Tuhan adalah
maha segalanya. Maka, ciri manusia yang mengkerdilkan Tuhan adalah yang
memenjarakan Tuhan dalam sebuah simbol buatan mereka sendiri. Kemudian membawa
simbol itu berjalan-jalan sembari memamerkannya. Seperti anak kecil yang
menangkap seekor kupu-kupu di alam bebas, lalu kupu-kupu itu dimasukkan ke
dalam toples..kemudian membawanya berjalan-jalan untuk dibandingkan atau
ditarungkan dengan kupu-kupu dalam toples milik sahabatnya.
Apakah itu
yang selama ini kita lakukan? Seharusnya kita sadar bahwa kitalah kupu-kupu
dalam toples yang dipelihara dan dikuasai oleh Tuhan. Jangan pada sok lah..
Rabu, 24 Juni 2015
UPASPESIES: ISLAM NUSANTARA
Tidak..tidak. saya tidak akan banyak bicara tentang islam dalam
tulisan ini. Anda jangan tertipu dgn judul yg aku buat. Pemahamanku
tentang Islam tidaklah sedalam pemahaman ustadz. Tidak setinggi para
sufi, tidak pula seluas alim 'ulama. Yg ingin kubahas dalam tulisan ini
adalah "aku" dan "kamu", iya...kamu.
Jika aku mengaku bahwa aku adalah muslim, kmudian kamu juga mengaku sbg muslim..apkah itu akan membuat kita sama dan sejalan? Aku berharap kamu dapat sejalan denganku. Dan kamu juga berharap aku dapat sejalan denganmu. Ya, itu harapan yg mulia. Tapi, faktanya justru harapan itulah yg membuat aku dan kamu tidak sejalan, tidak sepaham dan tidak sependapat.
Awalnya kita mempunyai niat yg "sama", yaitu agar kita sependapat. Namun akhirnya harapan itu berujung bualan belaka, karena kita sama-sama ingin agar "aku sama denganmu" padahal aku adalah aku, dan kamu adalah kamu: dua eksistensi yg berbeda.
Ah, trlalu mbulet ya? Padahal aku hanya ingin mengucapkan bhwa jika semua sama, tidak ada yg namanya bersama. Jika hanya satu, tidak ada yg namanya bersatu. Jika kita ingin ada kebersamaan dan persatuan, maka syarat yg harus kita lihat sebelumnya adalah, perbedaan. Perbedaan itulah satu2nya hal yg dapat kita ajak utk "bersama".
Jadi, aku harus melihat kamu sbg kamu. Lalu kamu harus melihat aku sbg aku. Agar kita bisa berjabat tangan.
Jika aku hanya melihat aku dlm segala hal, menafikkan adanya kamu dan semua yg selain-aku. Dan kamu pun hanya melihat kamu dalam segala hal, mengingkari orang lain yg berbeda dengan kamu. Sehingga kita hanya ingin ada "aku" atau ada "kamu" saja: egois di dunia ini. Percayalah, kita akan menjadi orang tolol yg menjabat tangan sendiri, berusaha mencium pipi sendiri, dan tersenyum pada diri sendiri.
Aduh, masih mbulet ya? Padahal aku hanya ingin mengatakan bahwa jika di dunia ini hanya ada "aku" saja, atau hanya ada "kamu" saja, lalu dgn siapa kau akan berjabat tangan? Makanya, jgn coba2 berharap agar semua orang di dunia ini menjadi "aku" saja, menjadi satu saja: b e r b a h a y a. Tuhan saja ogah menjadikan manusia ini satu paham saja,kan?
Nah, sekarang bayangkan jika aku ini islam nusantara, dan kamu ini islam arab. Yah, kita berasal dari spesies yg sama- masih ada islam-nya,sih. Tapi kok kita punya nama belakang yg membuat kita terlihat seperti sub-spesies yg berbeda? Ada yg aneh? Ada yg tidak wajar? Ah biasa saja lah...
Kalo kita belajar biologi, kita akan dapati misalnya nama harimau sumatera, ada harimau benggala (india), ada pula harimau afrika. Lah, sama2 harimau kok punya nama belakang? Ya iyalah. Karena harimau itu mengalami transformasi (maaf, kata evolusi sudah terlanjur "dikafiri") agar bisa beradaptasi dgn lingkungan. Beda lingkungan, beda pola adaptasi---hingga akhirnya, taraa....muncullah upaspesies (upajenis) yg berbeda-beda, terpisah dari spesies utama karena pengaruh geografi.
Transformasi ini...halah Evolusi ini! Terjadi pada setiap makhluk yg ada di dunia. Hewan, tumbuhan, manusia, bahkan batu akik juga mengalami adaptasi dan terbentuk oleh lingkungannya. Membuatnya berbeda-beda, penuh warna yg tercipta sbg akibat dari hukum alam. Btw..batu akik yg beraneka rupa saja membuat kita terpesona, masak manusia yg beraneka warna enggak?
Lihatlah..dari nabi Adam terturun upajenis manusia. Ada yg hitam,putih,coklat, belang (panuan). Bukankah perubahan yg menimbulkan perbedaan itu mempesona? Jangan ingkari bahwa perubahan dan adaptasi adalah proses alam. Jika tidak menerima hal ini, apa kamu pikir kamu Tuhan yg tidak terkena dampak hukum alam, selalu benar, dan tidak perlu adaptasi? Hush!!!
Nilai-nilai islam yg suci diturunkan di padang Arab, merasuk ke dalam jiwa para manusia. Manusia itu bagian dari dunia, bohong jika tidak mengalami hukum alam yg berlaku di dunia.
Maka, tidak perlu marah2, buang-buang emosi, menebar caci, jika ada istilah-istilah upaspesies islam. Santai saja, anggap sebagai bahan kajian baru penambah ilmu. Toh Alloh sang penjaga, punya cara sendiri dalam menjaga Islam dan kitabul karimnya?
Jika kita tidak mau melihat pola-pola sunnatulloh ini secara santai dan penuh takjub, kita tidak akan berjabat tangan..hanya akan saling memotong tangan. Tidak akan bertukar ilmu..hanya akan berlempar bom--meledak seperti meteor yg memusnahkan spesies dinosaurus sampai punah. Lalu, jika Tuhan bertanya: kuberi kalian agama agar selamat dunia akhirat, kok malah punah??
Apa akan kita jawab? saling tunjuk lagi di hadapan Tuhan? aish!
Sumber Gambar: lightbox-core-net.blogspot.com
Jika aku mengaku bahwa aku adalah muslim, kmudian kamu juga mengaku sbg muslim..apkah itu akan membuat kita sama dan sejalan? Aku berharap kamu dapat sejalan denganku. Dan kamu juga berharap aku dapat sejalan denganmu. Ya, itu harapan yg mulia. Tapi, faktanya justru harapan itulah yg membuat aku dan kamu tidak sejalan, tidak sepaham dan tidak sependapat.
Awalnya kita mempunyai niat yg "sama", yaitu agar kita sependapat. Namun akhirnya harapan itu berujung bualan belaka, karena kita sama-sama ingin agar "aku sama denganmu" padahal aku adalah aku, dan kamu adalah kamu: dua eksistensi yg berbeda.
Ah, trlalu mbulet ya? Padahal aku hanya ingin mengucapkan bhwa jika semua sama, tidak ada yg namanya bersama. Jika hanya satu, tidak ada yg namanya bersatu. Jika kita ingin ada kebersamaan dan persatuan, maka syarat yg harus kita lihat sebelumnya adalah, perbedaan. Perbedaan itulah satu2nya hal yg dapat kita ajak utk "bersama".
Jadi, aku harus melihat kamu sbg kamu. Lalu kamu harus melihat aku sbg aku. Agar kita bisa berjabat tangan.
Jika aku hanya melihat aku dlm segala hal, menafikkan adanya kamu dan semua yg selain-aku. Dan kamu pun hanya melihat kamu dalam segala hal, mengingkari orang lain yg berbeda dengan kamu. Sehingga kita hanya ingin ada "aku" atau ada "kamu" saja: egois di dunia ini. Percayalah, kita akan menjadi orang tolol yg menjabat tangan sendiri, berusaha mencium pipi sendiri, dan tersenyum pada diri sendiri.
Aduh, masih mbulet ya? Padahal aku hanya ingin mengatakan bahwa jika di dunia ini hanya ada "aku" saja, atau hanya ada "kamu" saja, lalu dgn siapa kau akan berjabat tangan? Makanya, jgn coba2 berharap agar semua orang di dunia ini menjadi "aku" saja, menjadi satu saja: b e r b a h a y a. Tuhan saja ogah menjadikan manusia ini satu paham saja,kan?
Nah, sekarang bayangkan jika aku ini islam nusantara, dan kamu ini islam arab. Yah, kita berasal dari spesies yg sama- masih ada islam-nya,sih. Tapi kok kita punya nama belakang yg membuat kita terlihat seperti sub-spesies yg berbeda? Ada yg aneh? Ada yg tidak wajar? Ah biasa saja lah...
Kalo kita belajar biologi, kita akan dapati misalnya nama harimau sumatera, ada harimau benggala (india), ada pula harimau afrika. Lah, sama2 harimau kok punya nama belakang? Ya iyalah. Karena harimau itu mengalami transformasi (maaf, kata evolusi sudah terlanjur "dikafiri") agar bisa beradaptasi dgn lingkungan. Beda lingkungan, beda pola adaptasi---hingga akhirnya, taraa....muncullah upaspesies (upajenis) yg berbeda-beda, terpisah dari spesies utama karena pengaruh geografi.
Transformasi ini...halah Evolusi ini! Terjadi pada setiap makhluk yg ada di dunia. Hewan, tumbuhan, manusia, bahkan batu akik juga mengalami adaptasi dan terbentuk oleh lingkungannya. Membuatnya berbeda-beda, penuh warna yg tercipta sbg akibat dari hukum alam. Btw..batu akik yg beraneka rupa saja membuat kita terpesona, masak manusia yg beraneka warna enggak?
Lihatlah..dari nabi Adam terturun upajenis manusia. Ada yg hitam,putih,coklat, belang (panuan). Bukankah perubahan yg menimbulkan perbedaan itu mempesona? Jangan ingkari bahwa perubahan dan adaptasi adalah proses alam. Jika tidak menerima hal ini, apa kamu pikir kamu Tuhan yg tidak terkena dampak hukum alam, selalu benar, dan tidak perlu adaptasi? Hush!!!
Nilai-nilai islam yg suci diturunkan di padang Arab, merasuk ke dalam jiwa para manusia. Manusia itu bagian dari dunia, bohong jika tidak mengalami hukum alam yg berlaku di dunia.
Maka, tidak perlu marah2, buang-buang emosi, menebar caci, jika ada istilah-istilah upaspesies islam. Santai saja, anggap sebagai bahan kajian baru penambah ilmu. Toh Alloh sang penjaga, punya cara sendiri dalam menjaga Islam dan kitabul karimnya?
Jika kita tidak mau melihat pola-pola sunnatulloh ini secara santai dan penuh takjub, kita tidak akan berjabat tangan..hanya akan saling memotong tangan. Tidak akan bertukar ilmu..hanya akan berlempar bom--meledak seperti meteor yg memusnahkan spesies dinosaurus sampai punah. Lalu, jika Tuhan bertanya: kuberi kalian agama agar selamat dunia akhirat, kok malah punah??
Apa akan kita jawab? saling tunjuk lagi di hadapan Tuhan? aish!
Sumber Gambar: lightbox-core-net.blogspot.com
Minggu, 03 Mei 2015
5 Cara Hidup Tanpa Uang
Untuk kebutuhan “hidup” sebenarnya semuanya gratis. Namun gaya hiduplah yang membuatnya mahal.
Dalam dunia yang serba modern ini, manusia seakan tidak bisa dilepaskan dengan kegiatan ekonomi. Semuanya harus melewati transaksi jual beli. Sehingga uang menjadi barang yang sangat penting. Semuanya bisa dianggap beres jika ada uang. Segalanya dianggap memerlukan uang. Uang memang membuat banyak hal menjadi praktis. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa uang akhirnya juga menimbulkan banyak masalah sosial. Gaya hidup glamour dan konsumtif membuat banyak orang khilaf, melakukan perbuatan jahat hanya untuk mendapatkan uang.
Maka dari itu, jika kita ingin kembali hidup damai dan terhindar dari masalah yang ditimbulkan uang, kita bisa mencoba beberapa cara hidup tapa uang. Antara lain.
Pertama: Mulailah menanam.
Segala bahan pangan manusia itu sebenarnya tumbuh dari tanah yang terhampar di bumi. Bukan tumbuh di etalase-etalase supermarket. Kita bisa memulai dengan menanam bahan pangan di lahan yang kita punyai. Saat ini sudah banyak metode tanam ubi, padi, sayur, dan lain sebagainya dengan media Pot atau polybag. Jika kita konsisten menanam sendiri bahan makanan kita, maka kita tidak perlu membeli lagi.
Kedua: Mulailah mendaur ulang.
Betapa banyak bahan layak pakai yang terbuang sia-sia? Baju, barang elektronik, sampah plastik, semuanya terbuang sia-sia jika kita hanya menuruti nafsu konsumtif atau nafsu membeli. Padahal saat ini sudah ada begitu banyak metode untuk memanfaatkan bahan bekas agar menjadi barang berguna dan layak pakai. Kita harus mulai mendaur ulang sampah untuk kepentingan kita, agar kita tidak selalu membeli dan membeli.
Ketiga: Mulailah berolah raga.
Bersepeda atau berjalan kaki adalah gaya hidup sehat yang tidak memerlukan uang transportasi (bahan bakar minyak). Tuhan telah memberikan alat transportasi kepada manusia berupa kaki dan tenaga secara gratis. Ini seharusnya kita manfaatkan untuk kesehatan kita. Saat ini sudah ada komunitas bike to work yang tidak memerlukan bahan bakar minyak untuk mobil atau ongkos untuk berangkat kerja. Hal ini patut kita tiru, agar kita menjadi sehat dan tentunya hemat.
Keempat: Mulailah melirik energy alternatif.
Saat ini, listrik bisa kita dapatkan dari cahaya matahari. Gas bisa kita dapatkan dari bio gas, kotoran yang diubah menjadi gas. Untuk ini, kita memang butuh modal awal. Tapi selanjutnya kita tidak perlu repot-repot membayar tagihan bulanan bukan?
Kelima: mulailah bersyukur.
Untuk kebutuhan “hidup” sebenarnya semuanya diberikan gratis oleh Tuhan. tapi, “gaya hidup” kitalah yang membuatnya menjadi mahal. Mari kita mulai bersikap bijak, dengan tidak bersikap konsumtif dan glamour. Mensyukuri apa yang sudah diberikan kepada kita untuk hidup.
Gambar: esabong.com
Sabtu, 02 Mei 2015
Hasil Menanam Padi dalam Pot
Kita semua pasti sudah kenal dengan tanaman padi. Tanaman yang
menjadi bahan makanan pokok di negara kita. Saat ini padi di tanam hampir di
semua lahan pertanian di wilayah Indonesia. Namun semakin hari jumlah lahan pertanian
semakin berkurang akibat pembangunan. Hal ini menuntut kita untuk berpikir
kreatif dalam menyikapi masalah ini. salah satunya dengan memanfaatkan area di
sekitar rumah kita.
Tanaman yang biasa ditanam di area rumah adalah tanaman hias
seperti bunga. Padahal, tanaman pangan seperti padi juga mempunyai potensi
untuk tumbuh subur dalam pot atau polybag. Cara penanamannya adalah sebagai berikut:
- Memilih benih padi yang unggul. Cara memilihnya adalah dengan mencampur air dengan garam secukupnya, lalu rendam benih padi. Padi yang mengapung tandanya benih itu kurang bagus. Maka pilihlah benih padi yang tenggelam di dasar wadah.
- Setelah anda mengambil benih padi yang tenggelam, lalu pindahkan dan rendamlah dalam air tawar selama satu hari untuk melunakkan kulit padi yang keras serta untuk merangsang pertumbuhan akar.
- Buat wadah penyemaian benih. Bisa terbuat dari besek bambu, atau yang lainnya. kemudian masukkan tanah dan kompos dengan perbandingan 1 tanah : 2 kompos. (jika tanahnya satu genggam berarti komposnya dua genggam) lalu Aduk sampai rata.
- Campurkan air dengan mol dengan perbandingan 15 air : 1 mol (jika airnya 15 tutup botol, maka MOL nya 1 tutup botol). Lalu siramkan pada wadah penyemaia benih yang sudah terisi tanah dan kompos tadi.
- Taburkan benih yang sudah di rendam ke wadah penyemaian ini secara merata. Ingat, biarkan benih di permukaan saja. Tidak perlu ditimbun. Tunggu 6-7 hari sampai benih itu menjadi bibit padi dengan dua daun lembar kecil.
- Siapkan pot, polybag atau ember bekas, lalu isi dengan campuran tanah dan kompos lalu siram dengan air dan mol seperti langkah membuat wadah di atas. Siram secukupnya sampai tanah menjadi becek saja, jangan sampai ada air yang menggenang.
- Cabut bibit padi dari wadah penyemaian (cukup 1 atau dua helai bibit!), lalu pindahkan ke dalam pot. Ingat, satu pot cukup ditanamai satu atau dua helai bibit saja!
- Rawat padi yang sudah ada dalam pot atau polybag. Setiap tiga hari sekali siram dengan air yang sudah dicampur dengan mol. Sedikit beri adukan ke tanah agar udara bisa masuk. Cabut rumput atau tanaman lain yang tumbuh di dalam pot karena bisa mengganggu pertumbuhan padi.
- Setelah 3-4 bulan padi yang semula hanya dua helai itu bisa beranak menjadi puluhan helai. Dan siap dipanen bila sudah berwarna kuning.
Bagaimana hasilnya? Dari satu pot itu bisa menghasilkan kisaran 1
ons gabah kering panen (GPK) (tergantung juga dengan jenis bibit padi).
Jika dalam jarak 1 meter persegi mampu menampung 10 pot, maka 1
meter persegi mampu menghasilkan kurang lebih 1 kg gabah kering. Lumayan bukan?
:D
Referensi: clearwaste.blogspot.com (uji coba Bapak Sobirin)
Buku ketrampilan tepat guna
menuju wirausaha mandiri, Pramindo, Surakarta.
Gambar: Abahcheppy.wordpress.com
Sabtu, 25 April 2015
MENGAPA HARI MINGGU LIBUR?
Hari yang
paling kita tunggu adalah hari minggu. Terutama jika kita adalah pelajar atau
pegawai negeri. Yap..hari minggu adalah hari libur, dimana kita bisa bersantai
dan bersenang-senang setelah enam hari (senin-sabtu) sibuk dan penat dengan
pekerjaan-pekerjaan kita.
Pernahkah kita
bertanya mengapa hari minggu itu yang dijadikan hari libur di Negara kita? Mengapa
tidak hari-hari lain? Jawabannya masih berhubungan dengan nasib Negara kita
yang pernah dijajah oleh bangsa kulit putih.
Pertama-tama
kita perlu mengetahui sejarah peradaban bangsa Romawi. Bangsa Romawi kuno
menganggap matahari sebagai dewa sehingga menyembahnya. Sehingga perlu ada hari
khusus untuk menyembah sang matahari. Yang dipilih adalah hari minggu (dalam
bahasa inggris Sun-day yang artinya
hari matahari) karena hari itu dianggap hari pertama yang mengawali keseluruhan
hari.
seperti yang kita ketahui bahwa kalender masehi yang kita
pakai saat ini merupakan warisan dari kerajaan Roma yang merupakan penyembah
dewa matahari, makanya hari minggu disucikan untuk menghormati dewa matahari
sembahan orang roma.
Pada sekitar tahun 325 M, Raja Roma Konstantin masuk
agama Nashrani. Agama ini mempercayai bahwa Yesus kristus yang telah berkorban
untuk dosa-dosa manusia di dunia bangkit kembali pada hari minggu. Itulah mengapa
umat kristiani beribadah pada hari minggu. agama Nashrani ini kemudian menyebar hampir di seluruh wilayah Eropa. Termasuk Portugis dan Belanda
Dimulai dari sini, kedatangan bangsa Portugis hingga
Belanda yang menyebarkan pengaruhnya ke Indonesia membuat culture yang mirip
dengan mereka. Sejatinya, hari minggu libur adalah hari untuk beribadah. Hal ini
hampir sama di kebudayaan timur tengah yang menjadikan hari Jum’at sebagai hari
libur, karena Jum’at adalah hari untuk beribadah kepada sesembahan mereka.
Meskipun mayoritas warga Negara kita adalah muslim, namun
pengaruh asing yang sempat mampir ke Indonesia memang tidak bisa sepenuhnya
hilang.
Jadi..hari libur sejatinya tidak sebatas digunakan untuk
bersantai dan bersenang-senang. Karena itu adalah hari beribadah J
Langganan:
Postingan (Atom)