Jumat, 28 Agustus 2015

“Aku” yang belum kukenali: (Secuil “hal” dari Misteri Eksistensi Gabriel Marcel bab 1-2)

Menjadi ‘diri sendiri’ adalah tong kosong yang sering ditabuh para motivator untuk membangunkan ‘diri’ seseorang yang katanya sedang tertidur. Tertidur dalam arti terasing, sesat identitas. Identitas dalam kacamata motivator biasanya seputar apa kemampuanmu, apa kebudayaanmu, dan apa ideologimu. Menjadi ‘diri sendiri’ konon katanya, adalah kunci untuk menjalani hidup dalam peti kehidupan. Kata ‘diri sendiri’ selalu terlihat sexi untuk menasehati dan atau memotivasi seseorang yang sedang kebingungan tentang dirinya. Tentang aku harus bekerja apa? aku harus mencintai siapa? Dan lain sebagainya.

Namun cukupkah ‘diri’ ini dilihat hanya dari apa pekerjaannya? Bendera apa yang dihormatinya? siapa namanya? atau apa warna kulitnya? Tidak. Tidak cukup. Ingat, itu semua hanyalah identitas. Dan identitas itu muncul setelah ‘diri’ ini ada. Diri adalah sebuah eksistensi yang kemudian memunculkan esensi berupa identitas atau apalah-apalah. Kita punya banyak kawan yang berwarna kulit sama, pekerjaan sama, Negara sama, agama sama, sampai terkadang nama yang sama. Identitas sama—tapi diri kita tidak sama.

Lalu jika identitas itu bukanlah ‘diri’ ini, lantas siapa atau apakah diri sendiri ini sebenarnya? Berbagai macam identitas pada dasarnya dibuat untuk menjawabnya. Agama-agama yang indah, corak bendera dari beragam Negara, sampai nama-nama suku yang bermacam pula digunakan manusia untuk ‘mengidentifikasi’ keberadaannya sendiri. Namun kenyataannya identitas-identitas itu justru semakin mengaburkan ‘diri’ ini yang sebenarnya. Memperkeruh. Mengacaukan keindahan kehidupan. Bentrok identitas menjadi penyakit kronis sebuah dunia yang menua.

Gabriel Marcel adalah salah seorang yang berusaha mencari tahu tentang ‘diri’ ini yang sebenarnya. Lahir di Paris, Prancis pada tahun 1889. Mendapatkan gelar sarjana filsafat dari universtas Sorbone pada usia 20 tahun. Pada awalnya dia tertarik pada filsafat idealisme, namun konflik antar manusia yang terus berkecamuk di sekitarnya membuatnya berpikir ulang hingga akhirnya dia beralih ke eksistensialisme.

Saat perang dunia 1 meletus, dia ikut bekerja di palang merah. Seringkali dia ikut pencarian orang hilang dengan hanya berbekal selembar identitas terkait orang yang sedang dicari. Saat manusia yang hilang itu tidak ditemukan, maka cukuplah identitas itu digunakan dalam setiap prosesi, baik penguburan atau penerimaan tanda jasa. Pada saat seperti itulah dia kemudian mulai berpikir bahwa tidaklah cukup selembar identitas itu menggantikan manusia sejati yang sekarang entah di mana. Manusia konkrit itu tetap ada, entah di mana. Dan manusia itu adalah eksistensi yang berbeda sama sekali dari lembaran identitas itu. Mungkin lembaran identitas itu cukup untuk menggantikan secara formalitas untuk kepentingan administrasi atau seremonial. Tapi tidak cukup untuk ‘keberadaan’ itu sendiri.

Kegelisahannya kemudian dituang dalam sebuah buku berjudul: Le mistere de L’etre (Prancis), Mystery Of Being (Inggris), Misteri Eksistensi (Indonesia). Gabriel Marcel adalah orang yang sangat menyukai seni, utamanya drama. Itulah mengapa sebagian besar karyanya berupa naskah drama dan cenderung enggan menuliskan pemikirannya dalam bentuk yang ilmiah dan sistematis. Kering.

Buku berjudul Misteri Eksistensi yang penulis pinjam ini, jujur saja terasa begitu berat. Rumit. Berputar-putar. Mungkin itu karena kedangkalan intelegensi saya sehingga tidak mampu memahami karya Gabriel Marcel yang hebat dan unik ini. Bahkan mungkin kesalahpahaman saya dalam memahami isi buku ini pun rentan terjadi. Satu kali berjumpa dengan halaman terkahir buku ini ternyata, tidak lebih dari 5% yang saya pahami isinya. Lima persen itu saja kemungkinan masih menyimpan kesalahpahaman-kesalahpahaman yang tersembunyi dan tidak saya sadari.

Membuat catatan ini adalah cara saya agar dapat mengikat “hal” yang sudah saya dapat, serta dapat menampung kritik yang meluruskan salah paham saya dalam memahami buku karya Gabriel Marcel ini J

Bab 1: Pendahuluan
Setiap pemikir itu spekulatif. Ujar Marcel. Betapapun kuat dasar pemikirannya, sebenarnya mereka masih menyisakan sepetak ruang untuk rasa skeptis. Rasa skpetis ini layaknya seorang yang menyusun pin-pin bowling, yang harus siap diruntuhkan semua atau sebagian dengan sekali gelindingan bola. Dan justru inilah yang paling menggoda dari dunia pemikiran, dari Filsafat. Ruang skeptisnya!

Filsafat itu sendiri menurut Marcel akan selalu menjadi ‘alat bantu’ untuk menemukan, bukan semata-mata soal pembuktian yang ketat. Maka dari itu, seorang filsuf yang memungut kebenaran-kebenaran tertentu kemudian menjelaskan hubungan dialektis antar kebenaran-kebenaran yang dia pungut, akan beresiko justru mengubah secara mendasar tingkat kebenaran yang dipungutnya.

Tetapi meskipun begitu, menurut pengakuannya, penulisan buku ini tidak untuk menciptakan sebuah kebenaran yang pongah. Seperti madzhab pemikiran baru bernama ‘Marcellisme atau Gabrielisme” misalnya. Haha.. sebuah kata yang mengejek! Ujarnya. Buku ini dia susun secara ‘terpaksa’ dengan bahasa yang ilmiah dan sistematis untuk memenuhi permohonan Universitas Aberdeen dalam kuliah Gifford.

Marcel pula mengakui bahwa dia akan menggunakan banyak sekali metafora dan analogi-analogi dalam menjelaskan pemikirannya dalam buku ini. Hal ini terlihat wajar mengingat dia adalah seorang penikmat seni di mana metafora sering digunakan untuk menyentil emosi para pemirsa. Dia menjelaskan “Metafora yang muncul di pikiran saya adalah sebuah jalan. Seolah-olah saya telah begitu jauh mengikuti jejak di jalan itu. Jalan yang melintasi sebuah wilayah yang nampaknya belum pernah terjamah”

Akan tetapi, bukankah kita mengetahui bahwa metafora itu imajinatif? Analogi-analogi imajinatif yang biasa digunakan juga tidaklah 100% dapat digunakan untuk mensamakan kejadian yang sama dalam sebuah realitas? Bagaimana sesuatu yang sifatnya imajinatif seperti itu digunakan sebagai jalan menjelaskan realitas? Apakah mungkin misalnya, kita akan menyeberangi sungai. Lalu kita membuat sebuah jembatan imajinatif untuk menyeberang. Dapatkah kita sampai di seberang dengan jembatan imajinatif itu? Tidak, kita tidak akan sampai di seberang. Tapi kita paham bahwa kita dapat sampai di seberang jika ada jembatan.

Inilah hasil yang dikejar dalam penyelidikan filosofis: pemahaman. Bukan hasil konkrit sebagaimana penyelidikan sebuah kasus pencurian. Oleh karena itu penyelidikan filosofis membentuk mata rantai yang tidak boleh putus. Kita tidak bisa begitu saja menerima sebuah kesimpulan filosofis tanpa mengetahui bagaimana kesimpulan itu dirajut. Berbeda dengan sebuah kesimpulan dalam penyelidikan kasus pencurian. Tersangka dan alat bukti didapat, beres. Kita dapat menerimanya tanpa perlu repot mencari tahu bagaimana bukti dan proses pengejaran yang susah payah dilakukan.

Itulah mengapa, terkadang sebuah kesimpulan filosofis dari seorang filsuf atau sufi misalnya, terdengar aneh dan nyeleneh. Itu karna kita tidak mengetahui bagaimana mata rantai yang berujung kesimpulan tersebut.

Pencarian filosofis, juga tidak mempunyai konsep baku. Seorang koki misalnya, jika sedang mencari hasil yang manis maka cukup menuang gula. Semua orang bisa melakukannya karena sudah ada konsep baku. Tetapi filosofis tidak. Seorang filsuf harus mempersiapkan ‘semuanya’ dan bersiap untuk ‘segalanya’ yang dapat terjadi dalam petualangan pencariannya. Selalu ada hal-hal diluar dugaan, diluar ‘kebakuan’ yang akan ditemui dalam petualangan tersebut. Itulah mengapa sebuah hasil filosofis terkadang hanya dapat dinikmati secara pribadi (filsufnya) sendiri. Sementara orang lain yang tidak ikut dalam pengembaraannya atau mengembara di ‘hutan’ yang berbeda, tidak mampu menikmatinya.

Hal inilah yang membuat Marcel percaya diri menuliskan buku ini. Jika saja seandainya, para pembaca mempelajari buku ini, memahami pemikirannya..dan akhirnya menyalahkannya, Marcel akan menerimanya dengan lapang dada dan akan tetap menikmati ‘dirinya’.

Memang semenjak dini, kita harus selalu curiga (termasuk kepada Marcel). Kita harus ingat betapa seringnya sebuah penyelidikan filosofis terhadang sekat-sekat bahasa. Terhadang batas-batas yang menghalangi pikiran bebas. Terbentur perkara-perkara yang di-tabu-kan. Setuju atau tidak setujunya kita dengan sesuatu dikendalikan oleh hasrat yang datang dari ketakutan: takut dicap jahat, penghkhianat, atau murtad. Hal-hal itu memblokir pikiran kita dengan cara yang sangat menyedihkan.

Senyatanya, ketakutan dan prasangka-prasangka semacam itu memang sangat sulit terlepas dari pemikiran kita. Marcel mengakui bahwa melepaskan prasangka dan ketakutan itu ibarat melepas kulit dari daging yang menyebabkan darah bercucuran. Namun perlu disadari bahwa berpikir dan mengembara dalam pencarian filosofis yang dilakukan para filsuf itu pada dasarnya adalah untuk tujuan kebaikan, seperti halnya tujuan yang termaktub dalam kitab-kitab suci: kemashlahatan manusia.

Orang-orang yang berpikir untuk memenuhi kebutuhan intelektual tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang beribadah untuk memenuhi kebutuhan spiritual. Muara keduanya adalah kedamaian. Walaupun sekarang, jenis yang kedua itu jumlahnya jauh lebih banyak.

BAB 2: Sebuah Dunia yang Sakit
Sebelum terlampau jauh memasuki dunia ini, Marcel menekankan bahwa penyelidikan filosofis ini sangat teoritis yang hanya akan menarik perhatian orang-orang tertentu saja.

Marcel memulai penyelidikan dari ‘kebenaran’. Konsep kebenaran lazimnya bersifat universal—apa yang benar adalah benar bagi siapa saja. Namun dalam wacana kebenaran tidak demikian adanya: kita bisa sepakat benar langit itu berwarna biru, tapi kita tidak bisa sepakat bahwa benar biru itu indah. Kebenaran tidak selalu berada di wilayah pengetahuan. Kebenaran seringkali tertanam di wilayah keyakinan: dan hal-hal seperti itu nantinya ikut andil dalam menyakiti dunia ini.

Selama dua atau tiga abad terakhir (zaman hidup Marcel) sudah banyak sekali refleksi-refleksi kritis dengan kebenaran sebagai sasarannya. Meskipun begitu, selalu ada alasan bagi sekelompok manusia untuk mendominasi sebuah klaim kebenaran. Kebenaran dijadikan sebuah ‘benda’ untuk memukul, atau mengikat manusia-manusia lainnya. Padahal menurut Marcel, kebenaran sama sekali bukan benda yang mempunyai bentuk dan ukuran pasti. Itulah mengapa proses pencarian kebenaran jauh berbeda dengan proses pencarian sebuah objek fisik---kebenaran bukanlah sebuah benda cair yang dapat dengan mudah dituang ke dalam wadah-wadah berupa otak-otak semua manusia. Manusia bukanlah sekedar wadah kosong yang menunggu tumpahan cairan kebenaran. Manusia mempunyai ‘diri’ dengan segala kemampuannya.

Dalam dunia yang sakit, manusia menjadi wadah-wadah kosong yang hanya menunggu tumpahan doktrin tekhnis-mekanis tentang segala hal. Manusia dinilai sebagai sebuah obyek material semata. Kebahagiannya dinilai dari material fisikal berupa baju-uang-pasangan dan lain sebagainya. Surgawinyapun cukup dibeli dengan kuil-kitab-dan sesaji semata. Hal-hal yang bersifat batiniah direndahkan menjadi obyek material belaka—sampai Tuhanpun harus diwujudkan dalam bentuk sesaji-sesaji untuk di makan bersama, dan ditelajangi dalam bentuk berhala untuk diciumi bersama.

Hal-hal yang bersifat batiniah tetap terasa lembut saat berbenturan. Namun saat hal-hal batiniah itu disimbolisasikan dalam sebuah wujud material, maka bentrok akan segera terjadi dengan keras. Apalagi jika yang diwujudkan itu adalah ‘kebenaran’. Kebenaran diwujudkan menjadi pedang, senapan, hingga bom yang dengan mudah menyakiti dunia ini. Dan jika kebenaran melahirkan sesuatu yang salah seperti itu, lalu di mana “kebenaran”nya?

Apa yang sebenarnya memotivasi manusia menggunakan kebenaran sebagai senjata untuk menyakiti dunia ini? Jawabannya adalah kehendak berkuasa. Perasaan paling benar dan kehendak untuk berkuasa adalah dua roda yang saling menopang untuk menghancurkan kedamaian. Pada prinsipnya, sebuah Negara yang dijalankan oleh manusia dengan kehendak berkuasa yang besar, akan terus memproduksi kebenaran-kebenaran untuk ‘membenarkan’ kesalahan-kesalahan yang mereka perbuat. Kebenaran yang mereka produksi dipaksakan untuk ‘dibenarkan’ oleh rakyat dan tentaranya. Dari sinilah akhirnya kebenaran itu menjadi hal yang hampir tidak bisa untuk dimaknai dan diberi arti. Kebenaran hanyalah senjata dan kehendak berkuasa menjadi panglimanya.

Apa yang kemudian terjadi saat kebenaran adalah kata yang tak punya arti, tak perlu dimaknai? Saat kebenaran hanyalah sebilah senjata untuk menyakiti? Marcel mengutip sepenggal kisah novel karya C.Virgil yang berjudul The Twenty fifth hour untuk menjelaskannya. Novel itu mengisahkan seorang lelaki muda yang ditangkap Nazi karena dituduh Yahudi. Namun kemudian dia dibebaskan karena berhasil bertingkah seperti ras arya. Semua kawannya bersalah karena yahudi, dan dia selamat karena ber-ras arya. Setelah selamat dia kemudian melarikan diri dan bergabung dengan tentara amerika. Awalnya dia disambut penuh suka cita oleh tentara amerika. Dia berjuang bersama. Namun akhirnya, lelaki itu dipenjara oleh amerika karena ketahuan pernah memiliki paspor sebagai warga Rumania. Dia sahabat sebagai manusia, tetapi identitasnya adalah musuh. Pria itu kembali dapat melarikan diri, dan pergi mengunjungi istrinya yang telah diperkosa oleh tentara-tentara Rusia sehingga hamil dan melahirkan seorang anak. Lelaki itu tidak peduli siapa ayah anak itu, dari ras apa dia, dan dari warga Negara apa. Dia berharap hidup bahagia di sisa hidupnya dengan keluarga kecilnya. Namun kemudian perang kembali meletus. Tentara Amerika kembali memasukkan keluarga kecil itu ke dalam sebuah kamp karena berasal dari Negara musuh. Dan di akhir cerita, seorang tentara Amerika yang tersentuh dengan keluarga kecil ini, mengajak mereka photo bersama. “Ayo senyum!” menjadi kata terakhir novel tersebut.

Lelaki itu hidup di tengah dunia yang sakit. Manusia dilihat sebatas identitas semata. Kebenaran kosong di teriakkan para jenderal yang haus kuasa tanpa melihat ‘diri’ dari tentaranya atau musuhnya. Keberadaan diri tidak lagi berarti. Yang ada hanyalah identitas agama, Negara, ras, dan pengkerdilan lainnya.

Tetapi, jauh diluar kendali Negara..dalam diri manusia terdapat sesuatu yang melawan pemerkosaan, melawan kekerasan pada dirinya, dan tidak setuju dengan hal-hal yang menyakitkan manusia. Protes yang muncul dalam diri manusia ini membuktikan bahwa manusia sebenarnya sedang hidup di tengah dunia yang sakit. Dunia yang dihiasi kata-kata, kata-kata yang telah dihempaskan dari makna aslinya. Demokrasi, liberty, kemenangan..adalah slogan-slogan yang dihambur-hamburkan bagai virus.

Rabu, 01 Juli 2015

TUHAN DALAM TOPLES


                                                           

Pada mulanya..manusia mengakui adanya satu Tuhan tertinggi yang menjadi penyebab segala sesuatu. Dia tidak terwakili oleh gambaran apa pun,  tidak memiliki kuil khusus untukNya,  atau pendeta yang mengabdi kepadanya. Dia terlalu luhur untuk dikandangkan dalam sepetak kuil kecil, terlalu luhur untuk ibadah manusia yang tak memadai.

            Begitulah kira-kira sebuah teori yang dijelaskan oleh Wilhelm Schmidt dalam The Origin of the Idea of God, yang pertama kali terbit pada 1912. Teori Schmidt ini dikutip oleh Karen Amstrong dalam bukunya yang berjudul Histroy Of God. Schmidt yang meneliti suku-suku tertua di afrika menyatakan bahwa telah ada suatu monoteisme primitif sebelum manusia mulai menyembah banyak dewa. Satu Tuhan yang disembah ini adalah sosok tertinggi yang teramat mulia, tak dapat tergambarkan dengan apapun, tak dapat dikhayalkan dengan rupa yang bagaimanapun bentuknya. Manusia pernah mempercayai konsep Tuhan yang seperti ini, menyembahnya, menakutinya, berharap  dan berdo’a kepadanya. Namun Tuhan yang begitu tinggi ini akhirnya perlahan berubah.

Perubahan terjadi karena tidak semua manusia mampu mencapai tingkat spiritual tinggi untuk dapat “memahami” akan Tuhan yang seperti itu. Banyak manusia yang mengalami kebingungan teologi dan terlalu malas untuk merenungi nilai-nilai keTuhanan yang universal: terlalu rumit dan abstrak. Ya, banyak orang memerlukan sebuah penjelasan konkrit berupa “symbol-simbol” ketuhanan. Simbol ini memudahkan mereka mengenali tuhan yang sedang mereka cari. Seiring perkembangan kreasi dan budaya manusia, maka simbol-simbol ini perlahan kian beragam jenisnya. Manusia mulai membuat baju, membuat rumah, dan membuat nama-nama yang indah untuk Tuhan yang mereka sembah: hingga akhirnya Tuhan menjadi berbeda-beda----yang kemudian diserap  dalam agama-agama lengkap dengan segala atribut keagamaannya.

Yang menarik menurut penulis adalah, saat ini dapat kita lihat secara jelas bahwa kemudian, simbol-simbol itu justru menjadi acuan kesalehan manusia. Cara mudah manusia beragama adalah memakai kaos dengan simbol-simbol suatu agama. cara indah beragama adalah dengan memperindah “kandang-kandang Tuhan” dan lain sebagainya. padahal simbol hanya berfungsi sebagai jalan untuk mengenali Tuhan yang sebenarnya. Tuhan yang maha segalanya, yang Ghaib, yang maha tinggi tak terjangkau, yang maha besar tak terukur. Ini adalah dasar dari sebuah agama: Tuhan. Seperti  yang diucapkan oleh Rudolf Otto dalam bukunya The Idea Of The Holy, bahwa rasa tentang yang ghaib adalah dasar dari sebuah agama. agama tidak didasarkan pada simbol-simbol buatan manusia, agama tidak berdasar pada pernak-pernik buatan manusia.

Apabila manusia hanya menjadi budak-budak simbol keagamaan, maka dia sebenarnya sedang mengundurkan diri sebagai hamba Tuhan yang maha segalanya. Tuhan itu satu, ESA. Dan dalam perjalanan sejarah, manusia telah membuat simbol-simbol yang beraneka rupa. Dengan kata lain, saat ada perseteruan antar simbol-simbol keagamaan, itu adalah perang antar simbol, antar manusia. Bukan perang antar Tuhan karena Tuhan itu Satu, tidak terlawan, tidak tertandingi.

Manusia harus segera mengakhiri pertikaian antar simbol keagamaan yang mengatasnamakan Tuhan. Karena perseteruan itu justru mencerabut dasar keagamaan. Kita adalah hamba Tuhan, bukan budak simbol. Mari kita berhenti mengkerdilkan Tuhan. Mari kita mulai kembali ke maha luasnya dekapan Tuhan. Apapun agama anda..agama yang mengajarkan tentang nilai-nilai keTuhanan, janganlah berhenti dan menyembah simbol. Teruslah berjalan dan menggapai Tuhan.

Tuhan adalah maha segalanya. Maka, ciri manusia yang mengkerdilkan Tuhan adalah yang memenjarakan Tuhan dalam sebuah simbol buatan mereka sendiri. Kemudian membawa simbol itu berjalan-jalan sembari memamerkannya. Seperti anak kecil yang menangkap seekor kupu-kupu di alam bebas, lalu kupu-kupu itu dimasukkan ke dalam toples..kemudian membawanya berjalan-jalan untuk dibandingkan atau ditarungkan dengan kupu-kupu dalam toples milik sahabatnya.

Apakah itu yang selama ini kita lakukan? Seharusnya kita sadar bahwa kitalah kupu-kupu dalam toples yang dipelihara dan dikuasai oleh Tuhan. Jangan pada sok lah..

Rabu, 24 Juni 2015

UPASPESIES: ISLAM NUSANTARA

Tidak..tidak. saya tidak akan banyak bicara tentang islam dalam tulisan ini. Anda jangan tertipu dgn judul yg aku buat. Pemahamanku tentang Islam tidaklah sedalam pemahaman ustadz. Tidak setinggi para sufi, tidak pula seluas alim 'ulama. Yg ingin kubahas dalam tulisan ini adalah "aku" dan "kamu", iya...kamu.

Jika aku mengaku bahwa aku adalah muslim, kmudian kamu juga mengaku sbg muslim..apkah itu akan membuat kita sama dan sejalan? Aku berharap kamu dapat sejalan denganku. Dan kamu juga berharap aku dapat sejalan denganmu. Ya, itu harapan yg mulia. Tapi, faktanya justru harapan itulah yg membuat aku dan kamu tidak sejalan, tidak sepaham dan tidak sependapat.

Awalnya kita mempunyai niat yg "sama", yaitu agar kita sependapat. Namun akhirnya harapan itu berujung bualan belaka, karena kita sama-sama ingin agar "aku sama denganmu" padahal aku adalah aku, dan kamu adalah kamu: dua eksistensi yg berbeda.

Ah, trlalu mbulet ya? Padahal aku hanya ingin mengucapkan bhwa jika semua sama, tidak ada yg namanya bersama. Jika hanya satu, tidak ada yg namanya bersatu. Jika kita ingin ada kebersamaan dan persatuan, maka syarat yg harus kita lihat sebelumnya adalah, perbedaan. Perbedaan itulah satu2nya hal yg dapat kita ajak utk "bersama".

Jadi, aku harus melihat kamu sbg kamu. Lalu kamu harus melihat aku sbg aku. Agar kita bisa berjabat tangan.
Jika aku hanya melihat aku dlm segala hal, menafikkan adanya kamu dan semua yg selain-aku. Dan kamu pun hanya melihat kamu dalam segala hal, mengingkari orang lain yg berbeda dengan kamu. Sehingga kita hanya ingin ada "aku" atau ada "kamu" saja: egois di dunia ini. Percayalah, kita akan menjadi orang tolol yg menjabat tangan sendiri, berusaha mencium pipi sendiri, dan tersenyum pada diri sendiri.

Aduh, masih mbulet ya? Padahal aku hanya ingin mengatakan bahwa jika di dunia ini hanya ada "aku" saja, atau hanya ada "kamu" saja, lalu dgn siapa kau akan berjabat tangan? Makanya, jgn coba2 berharap agar semua orang di dunia ini menjadi "aku" saja, menjadi satu saja: b e r b a h a y a. Tuhan saja ogah menjadikan manusia ini satu paham saja,kan?

Nah, sekarang bayangkan jika aku ini islam nusantara, dan kamu ini islam arab. Yah, kita berasal dari spesies yg sama- masih ada islam-nya,sih. Tapi kok kita punya nama belakang yg membuat kita terlihat seperti sub-spesies yg berbeda? Ada yg aneh? Ada yg tidak wajar? Ah biasa saja lah...

Kalo kita belajar biologi, kita akan dapati misalnya nama harimau sumatera, ada harimau benggala (india), ada pula harimau afrika. Lah, sama2 harimau kok punya nama belakang? Ya iyalah. Karena harimau itu mengalami transformasi (maaf, kata evolusi sudah terlanjur "dikafiri") agar bisa beradaptasi dgn lingkungan. Beda lingkungan, beda pola adaptasi---hingga akhirnya, taraa....muncullah upaspesies (upajenis) yg berbeda-beda, terpisah dari spesies utama karena pengaruh geografi.

Transformasi ini...halah Evolusi ini! Terjadi pada setiap makhluk yg ada di dunia. Hewan, tumbuhan, manusia, bahkan batu akik juga mengalami adaptasi dan terbentuk oleh lingkungannya. Membuatnya berbeda-beda, penuh warna yg tercipta sbg akibat dari hukum alam. Btw..batu akik yg beraneka rupa saja membuat kita terpesona, masak manusia yg beraneka warna enggak?

Lihatlah..dari nabi Adam terturun upajenis manusia. Ada yg hitam,putih,coklat, belang (panuan). Bukankah perubahan yg menimbulkan perbedaan itu mempesona? Jangan ingkari bahwa perubahan dan adaptasi adalah proses alam. Jika tidak menerima hal ini, apa kamu pikir kamu Tuhan yg tidak terkena dampak hukum alam, selalu benar, dan tidak perlu adaptasi? Hush!!!

Nilai-nilai islam yg suci diturunkan di padang Arab, merasuk ke dalam jiwa para manusia. Manusia itu bagian dari dunia, bohong jika tidak mengalami hukum alam yg berlaku di dunia.
Maka, tidak perlu marah2, buang-buang emosi, menebar caci, jika ada istilah-istilah upaspesies islam. Santai saja, anggap sebagai bahan kajian baru penambah ilmu. Toh Alloh sang penjaga, punya cara sendiri dalam menjaga Islam dan kitabul karimnya?

Jika kita tidak mau melihat pola-pola sunnatulloh ini secara santai dan penuh takjub, kita tidak akan berjabat tangan..hanya akan saling memotong tangan. Tidak akan bertukar ilmu..hanya akan berlempar bom--meledak seperti meteor yg memusnahkan spesies dinosaurus sampai punah. Lalu, jika Tuhan bertanya: kuberi kalian agama agar selamat dunia akhirat, kok malah punah??

Apa akan kita jawab? saling tunjuk lagi di hadapan Tuhan? aish!


Sumber Gambar: lightbox-core-net.blogspot.com

Minggu, 03 Mei 2015

5 Cara Hidup Tanpa Uang


Untuk kebutuhan “hidup” sebenarnya semuanya gratis. Namun gaya hiduplah yang membuatnya mahal.

Dalam dunia yang serba modern ini, manusia seakan tidak bisa dilepaskan dengan kegiatan ekonomi. Semuanya harus melewati transaksi jual beli. Sehingga uang menjadi barang yang sangat penting. Semuanya bisa dianggap beres jika ada uang. Segalanya dianggap memerlukan uang. Uang memang membuat banyak hal menjadi praktis. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa uang akhirnya juga menimbulkan banyak masalah sosial. Gaya hidup glamour dan konsumtif membuat banyak orang khilaf, melakukan perbuatan jahat hanya untuk mendapatkan uang.

Maka dari itu, jika kita ingin kembali hidup damai dan terhindar dari masalah yang ditimbulkan uang, kita bisa mencoba beberapa cara hidup tapa uang. Antara lain.

Pertama: Mulailah menanam.
Segala bahan pangan manusia itu sebenarnya tumbuh dari tanah yang terhampar di bumi. Bukan tumbuh di etalase-etalase supermarket. Kita bisa memulai dengan menanam bahan pangan di lahan yang kita punyai. Saat ini sudah banyak metode tanam ubi, padi, sayur, dan lain sebagainya dengan media Pot atau polybag. Jika kita konsisten menanam sendiri bahan makanan kita, maka kita tidak perlu membeli lagi.

Kedua: Mulailah mendaur ulang.
Betapa banyak bahan layak pakai yang terbuang sia-sia? Baju, barang elektronik, sampah plastik, semuanya terbuang sia-sia jika kita hanya menuruti nafsu konsumtif atau nafsu membeli. Padahal saat ini sudah ada begitu banyak metode untuk memanfaatkan bahan bekas agar menjadi barang berguna dan layak pakai. Kita harus mulai mendaur ulang sampah untuk kepentingan kita, agar kita tidak selalu membeli dan membeli.

Ketiga: Mulailah berolah raga.
Bersepeda atau berjalan kaki adalah gaya hidup sehat yang tidak memerlukan uang transportasi (bahan bakar minyak). Tuhan telah memberikan alat transportasi kepada manusia berupa kaki dan tenaga secara gratis. Ini seharusnya kita manfaatkan untuk kesehatan kita. Saat  ini sudah ada komunitas bike to work yang tidak memerlukan bahan bakar minyak untuk mobil atau ongkos untuk berangkat kerja. Hal ini patut kita tiru, agar kita menjadi sehat dan tentunya hemat.

Keempat: Mulailah melirik energy alternatif.
Saat ini, listrik bisa kita dapatkan dari cahaya matahari. Gas bisa kita dapatkan dari bio gas, kotoran yang diubah menjadi gas. Untuk ini, kita memang butuh modal awal. Tapi selanjutnya kita tidak perlu repot-repot membayar tagihan bulanan bukan?

Kelima: mulailah bersyukur.
Untuk kebutuhan “hidup” sebenarnya semuanya diberikan gratis oleh Tuhan. tapi, “gaya hidup” kitalah yang membuatnya menjadi mahal. Mari kita mulai bersikap bijak, dengan tidak bersikap konsumtif dan glamour. Mensyukuri apa yang sudah diberikan kepada kita untuk hidup.


Gambar: esabong.com

Sabtu, 02 Mei 2015

Hasil Menanam Padi dalam Pot



Kita semua pasti sudah kenal dengan tanaman padi. Tanaman yang menjadi bahan makanan pokok di negara kita. Saat ini padi di tanam hampir di semua lahan pertanian di wilayah Indonesia. Namun semakin hari jumlah lahan pertanian semakin berkurang akibat pembangunan. Hal ini menuntut kita untuk berpikir kreatif dalam menyikapi masalah ini. salah satunya dengan memanfaatkan area di sekitar rumah kita.

Tanaman yang biasa ditanam di area rumah adalah tanaman hias seperti bunga. Padahal, tanaman pangan seperti padi juga mempunyai potensi untuk tumbuh subur dalam pot atau polybag. Cara penanamannya adalah sebagai berikut:

  1. Memilih benih padi yang unggul. Cara memilihnya adalah dengan mencampur air dengan garam secukupnya, lalu rendam benih padi. Padi yang mengapung tandanya benih itu kurang bagus. Maka pilihlah benih padi yang tenggelam di dasar wadah. 
  2. Setelah anda mengambil benih padi yang tenggelam, lalu pindahkan dan rendamlah dalam air tawar selama satu hari untuk melunakkan kulit padi yang keras serta untuk merangsang pertumbuhan akar. 
  3. Buat wadah penyemaian benih. Bisa terbuat dari besek bambu, atau yang lainnya. kemudian masukkan tanah dan kompos dengan perbandingan 1 tanah : 2 kompos. (jika tanahnya satu genggam berarti komposnya dua genggam) lalu Aduk sampai rata. 
  4. Campurkan air dengan mol dengan perbandingan 15 air : 1 mol (jika airnya 15 tutup botol, maka MOL nya 1 tutup botol). Lalu siramkan pada wadah penyemaia benih yang sudah terisi tanah dan kompos tadi. 
  5. Taburkan benih yang sudah di rendam ke wadah penyemaian ini secara merata. Ingat, biarkan benih di permukaan saja. Tidak perlu ditimbun. Tunggu 6-7 hari sampai benih itu menjadi bibit padi dengan dua daun lembar kecil. 
  6. Siapkan pot, polybag atau ember bekas, lalu isi dengan campuran tanah dan kompos lalu siram dengan air dan mol seperti langkah membuat wadah di atas. Siram secukupnya sampai tanah menjadi becek saja, jangan sampai ada air yang menggenang. 
  7. Cabut bibit padi dari wadah penyemaian (cukup 1 atau dua helai bibit!), lalu pindahkan ke dalam pot. Ingat, satu pot cukup ditanamai satu atau dua helai bibit saja! 
  8. Rawat padi yang sudah ada dalam pot atau polybag. Setiap tiga hari sekali siram dengan air yang sudah dicampur dengan mol. Sedikit beri adukan ke tanah agar udara bisa masuk. Cabut rumput atau tanaman lain yang tumbuh di dalam pot karena bisa mengganggu pertumbuhan padi. 
  9. Setelah 3-4 bulan padi yang semula hanya dua helai itu bisa beranak menjadi puluhan helai. Dan siap dipanen bila sudah berwarna kuning.

Bagaimana hasilnya? Dari satu pot itu bisa menghasilkan kisaran 1 ons gabah kering panen (GPK) (tergantung juga dengan jenis bibit padi).
Jika dalam jarak 1 meter persegi mampu menampung 10 pot, maka 1 meter persegi mampu menghasilkan kurang lebih 1 kg gabah kering. Lumayan bukan? :D


Referensi: clearwaste.blogspot.com (uji coba Bapak Sobirin)
Buku ketrampilan tepat guna menuju wirausaha mandiri, Pramindo, Surakarta.
Gambar: Abahcheppy.wordpress.com

Sabtu, 25 April 2015

MENGAPA HARI MINGGU LIBUR?

Hari yang paling kita tunggu adalah hari minggu. Terutama jika kita adalah pelajar atau pegawai negeri. Yap..hari minggu adalah hari libur, dimana kita bisa bersantai dan bersenang-senang setelah enam hari (senin-sabtu) sibuk dan penat dengan pekerjaan-pekerjaan kita.

Pernahkah kita bertanya mengapa hari minggu itu yang dijadikan hari libur di Negara kita? Mengapa tidak hari-hari lain? Jawabannya masih berhubungan dengan nasib Negara kita yang pernah dijajah oleh bangsa kulit putih.

Pertama-tama kita perlu mengetahui sejarah peradaban bangsa Romawi. Bangsa Romawi kuno menganggap matahari sebagai dewa sehingga menyembahnya. Sehingga perlu ada hari khusus untuk menyembah sang matahari. Yang dipilih adalah hari minggu (dalam bahasa inggris Sun-day yang artinya hari matahari) karena hari itu dianggap hari pertama yang mengawali keseluruhan hari.

seperti yang kita ketahui bahwa kalender masehi yang kita pakai saat ini merupakan warisan dari kerajaan Roma yang merupakan penyembah dewa matahari, makanya hari minggu disucikan untuk menghormati dewa matahari sembahan orang roma.

Pada sekitar tahun 325 M, Raja Roma Konstantin masuk agama Nashrani. Agama ini mempercayai bahwa Yesus kristus yang telah berkorban untuk dosa-dosa manusia di dunia bangkit kembali pada hari minggu. Itulah mengapa umat kristiani beribadah pada hari minggu. agama Nashrani ini kemudian menyebar hampir di seluruh wilayah Eropa. Termasuk  Portugis dan Belanda

Dimulai dari sini, kedatangan bangsa Portugis hingga Belanda yang menyebarkan pengaruhnya ke Indonesia membuat culture yang mirip dengan mereka. Sejatinya, hari minggu libur adalah hari untuk beribadah. Hal ini hampir sama di kebudayaan timur tengah yang menjadikan hari Jum’at sebagai hari libur, karena Jum’at adalah hari untuk beribadah kepada sesembahan mereka.

Meskipun mayoritas warga Negara kita adalah muslim, namun pengaruh asing yang sempat mampir ke Indonesia memang tidak bisa sepenuhnya hilang.

Jadi..hari libur sejatinya tidak sebatas digunakan untuk bersantai dan bersenang-senang. Karena itu adalah hari beribadah J