Sabtu, 25 April 2015

MENGAPA HARI MINGGU LIBUR?

Hari yang paling kita tunggu adalah hari minggu. Terutama jika kita adalah pelajar atau pegawai negeri. Yap..hari minggu adalah hari libur, dimana kita bisa bersantai dan bersenang-senang setelah enam hari (senin-sabtu) sibuk dan penat dengan pekerjaan-pekerjaan kita.

Pernahkah kita bertanya mengapa hari minggu itu yang dijadikan hari libur di Negara kita? Mengapa tidak hari-hari lain? Jawabannya masih berhubungan dengan nasib Negara kita yang pernah dijajah oleh bangsa kulit putih.

Pertama-tama kita perlu mengetahui sejarah peradaban bangsa Romawi. Bangsa Romawi kuno menganggap matahari sebagai dewa sehingga menyembahnya. Sehingga perlu ada hari khusus untuk menyembah sang matahari. Yang dipilih adalah hari minggu (dalam bahasa inggris Sun-day yang artinya hari matahari) karena hari itu dianggap hari pertama yang mengawali keseluruhan hari.

seperti yang kita ketahui bahwa kalender masehi yang kita pakai saat ini merupakan warisan dari kerajaan Roma yang merupakan penyembah dewa matahari, makanya hari minggu disucikan untuk menghormati dewa matahari sembahan orang roma.

Pada sekitar tahun 325 M, Raja Roma Konstantin masuk agama Nashrani. Agama ini mempercayai bahwa Yesus kristus yang telah berkorban untuk dosa-dosa manusia di dunia bangkit kembali pada hari minggu. Itulah mengapa umat kristiani beribadah pada hari minggu. agama Nashrani ini kemudian menyebar hampir di seluruh wilayah Eropa. Termasuk  Portugis dan Belanda

Dimulai dari sini, kedatangan bangsa Portugis hingga Belanda yang menyebarkan pengaruhnya ke Indonesia membuat culture yang mirip dengan mereka. Sejatinya, hari minggu libur adalah hari untuk beribadah. Hal ini hampir sama di kebudayaan timur tengah yang menjadikan hari Jum’at sebagai hari libur, karena Jum’at adalah hari untuk beribadah kepada sesembahan mereka.

Meskipun mayoritas warga Negara kita adalah muslim, namun pengaruh asing yang sempat mampir ke Indonesia memang tidak bisa sepenuhnya hilang.

Jadi..hari libur sejatinya tidak sebatas digunakan untuk bersantai dan bersenang-senang. Karena itu adalah hari beribadah J

Jumat, 17 April 2015

Manusia dikutuk untuk berdemokrasi

Pria yang tampan dan gagah itu sedang gelisah di samping sebuah makam, makam Gurunya. Gurunya yang dihukum mati, meminum racun cemara karena “menyuarakan gagasan dan kritikannya” pada masyarakat dan pemerintah. Pemerintah Athena yang demokratis!


Selain itu, alasan kedua gelisahnya pria itu adalah tumbangnya tanah airnya yang demokratis akibat serangan dari Sparta, sebuah Negara yang menerapkan sistem aristokrasi dengan junta militernya yang kuat. Sparta dengan rezim militer yang dictator sangat perkasa walau wilayahnya kecil. Mereka mewajibkan pendidikan militer bagi segenap pemuda di wilayahnya. Sementara Athena yang luas menjadi lemah karena demokrasi!


Pria itu, yang bernama Plato, adalah seorang filosof yang suka berpikir secara mendalam. Mungkinkah demokrasi adalah sebuah kutukan? Pada awalnya itulah pertanyaannya. Kemudian dia menyelidikinya.


Pertama, Plato melihat bahwa sebuah Negara yang ideal adalah yang berlandaskan kebajikan. Manusia tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. maka, manusia membentuk sebuah persekutuan yang disebut Negara. Dari sini, maka, pembagian tugas menurut keahlian masing-masing sangatlah diperlukan. Tiap warga melaksanakan keahliannya dengan kesadaran akan kebajikan.


Maka dari itu, yang pertama dia pilih adalah aristokrasi. Dimana aristokratlah yang membuat aturan dan kebijakan Negara, karena mereka adalah cendekiawan negara. Tapi, tidak bisa dielakkan jika setelahnya, keturunan aristokrat ini, yang dengan mudah mendapat kekuasaan, yang tidak memahami arti perjuangan, yang tidak merasakan kesusahan, akan mengubah Negara menjadi Timokrasi. Para generasi baru ini tidak berorientasi pada kepentingan bersama melainkan telah menjadi orientasi untuk menyenangkan diri sendiri. Kekuasaan yang mereka miliki digunakan untuk kesenangan, kemuliaan, dan kepentingan diri mereka sendiri.


Kemerosotan akan berlanjut ke Oligarki. Beberapa orang tidak lagi hanya membuat aturan Negara. Tapi, menguasai Negara! Para junta di Sparta adalah contohnya. Mereka memerintah dengan bengis dan kejam. Sehingga rakyat nampak menjadi seperti budak belaka.


Selanjutnya, rakyat yang tertindas oleh oligarki, akan memberontak dan menuntut kebebasan. kebebasan bersuara, bebas berpendapat, bebas memilih pemimpin. Sehingga akhirnya Negara jatuh pada Demokrasi. Pada sistem demokrasi yang begitu menggoda, Plato hanya bisa membayangkan bahwa: bagaimana jika manusia yang cenderung ceroboh dan rakus itu mendapat kebebasannya?


Manusia akan senang mendapat kebebasan, karena bisa “bebas membuat kekacauan” agar bisa mendapatkan yang diinginkan, sembari menghardik yang tidak sepaham. Tidak ada pemimpin yang dihargai, tidak ada aturan bersama yang benar-benar ikhlas disepakati. Semua mencintai negri dengan caranya masing-masing. Negara akan menjadi lemah dan terpecah. Dan..yang lebih buruk adalah, gerombolan mayoritas yang akan menindas minoritas, seperti terbunuhnya Scocrates, gurunya.


Begitulah, demokrasi dalam pandangan plato adalah sebuah “jalan keluar terakhir yang akan menjadi kutukan!”
**


Dalam kegelisahanya, Plato dikejutkan oleh suara muridnya, Aristoteles.
“Terlalu ekstrim itu tercela, Plato. Termasuk terlalu gelisah. Hanya dengan bersikap sederhana dan biasa saja, kita bisa bahagia. Karena itu berarti selaras.” Aristoteles mengucapkan kata yang pernah diajarkan Plato.


“Benarkah kebebasan manusia itu adalah kutukan? Tapi, bagaimana manusia bisa menjadi manusia, tanpa kebebasan?” Plato menyahut.


“Zoon politicon, Plato. Hewan berpolitik, itulah manusia. Kebebasan manusia itu terbatas pada kebebasan manusia yang lain. Maka dari itulah, manusia bersahabat. Dan bentuk persahabatan tertinggi manusia, adalah Negara.”


“Aristoteles, kau semakin pintar. Kuharap orang sepertimu bisa menjadi raja. Karena, kejahatan belum bisa berakhir sebelum filosof dijadikan raja, atau raja-raja menjadi filosof.”


“Aku mengasihimu, Plato. Tapi aku lebih mengasihi kebenaran. Kau adalah sosok yang terlalu idealis. Suka berkhayal akan hal-hal yang utopis. Faktanya, dunia ini tidak bisa sempurna. Bahkan jika seorang filosof menjadi raja. Jika saja ada seorang raja yang sempurna, aku sepakat denganmu. Tapi….
Negara yang monarki, akan segera menjadi tirani. Yang aristokrasi, akan segera menjadi oligarki. Aku sempat tertarik dengan sistem Politea, karena sistem ini yang paling realistis. Polity adalah sistem dimana kekuasaan berada di tangan orang banyak. Diakuinya pemikiran banyak orang, tidaklah dapat menjamin tercapainya kebenaran, tetapi sedikit banyak telah mengandung unsur-unsur kebenaran dan bahkan jauh lebih baik dari pemikiran beberapa orang. Dalam sistem ini, diperlukan landasan hukum yang jelas. Maksudnya, meskipun dalam kebebasan, tetap ada aturan yang wajib disepakati bersama.


Namun Politea ini juga dapat merosot ke dalam Demokrasi. Sebuah sistem dimana rakyat benar-benar mendapatkan kebebasannya. Ya, kutukan yang tidak bisa dihindari manusia, nafsu untuk bebas.


Dalam demokrasi, aturan menjadi absurd. Bayangkan, setiap warga Negara berhak menjadi pemimpin walaupun tak pantas. “Hak” berada di atas “Pantas”. Maka, dalam sistem yang merupakan kemerosotan dari Politea ini, kita akan melihat orang-orang bodoh berhak menjadi pemimpin karena kriteria pemimpin bukan kualitas, tapi “berhak dan bebas”. Perbedaan politea dan demokrasi sangat tipis. Mungkin, kita tidak akan menyadari, kapan politea menjadi sebuah demokrasi.” Aristoteles menutup uraiannya, sementara Plato masih menatap makam Socrates, gurunya yang kritis dan cerdas.

Sinisme: Miskin adalah kebahagiaan yang tidak dapat dicuri!


Saat ini kemiskinan adalah sebuah hantu menyeramkan yang menghantui semua manusia. hal ini dapat terjadi saat makna miskin hanyalah “kekurangan materi” belaka. Andai saja miskin dimaknai sebagai bentuk “terlepasnya manusia dari penjara materi” maka kemiskinan justru dapat menjadi malaikat penyelamat manusia dari rasa sedih dan gelisah.


 Kita bisa mengambil contoh dari kaum sinisme. Aliran Sinisme didirikan oleh Anthistenes di Athena pada tahun 400 SM. Anthistenes adalah murid Socrates yang sangat tepukau dengan kesederhanaan gurunya. Seperti kita tahu, Socrates adalah seorang filosof yang terkenal “zuhud”. Pernah pada suatu ketika dia berdiri di pasar, melihat bermacam barang yang dijual. Kemudian dengan lantang dia berucap “Lihatlah..betapa banyak barang yang sejatinya tidak kuperlukan!”


 Kaum sinis menekankan bahwa kebahagiaan sejati tidaklah terdapat dalam kelebihan lahiriah seperti kemewahan materi, kekuasaan politik, atau kesehatan yang baik. kebahagiaan sejati hanya bisa didapatkan saat manusia terlepas dari segala bentuk ketergantungan pada segala sesuatu yang acak. Dan karena kebahagiaan tidak akan didapatkan dari kuntungan-keuntungan semacam itu, maka semua orang dapat meraihnya. Dan yang lebih penting adalah, kebahagiaan yang di dapat dari melepaskan diri dari segala ketergantungan itu akan abadi. Sekali di dapat, dia tidak akan terlepas lagi.


 Jika kebahagiaan itu terletak pada emas, maka jika emas itu hilang maka hilag pula kebahagiaan. Jika bahagia terletak pada ketampanan atau atau kecantikan, maka kebahagiaan akan berangsur sirna seiring umur yang menua. Kaum sinis percaya bahwa kebahagiaan itu haruslah abadi..


 Kaum sinis yang paling terkenal adalah Diogenes, salah seorang murid Anisthenes. Yang konon dia hidup dalam sebuah tong dan tidak memiliki apapun kecuali sebuah mantel, tongkat, dan katong roti. (sehingga tidak mudah mencuri kebahagiaan darinya!). Pernah pada suatu hari,  ketika dia sedang duduk di samping tongnya menikmati cahaya matahari, dia dikunjungi oleh Alexander Agung. Sang Raja berdiri di hadapannya dan bertanya apakah dia dapat melakukan sesuatu untuk membantu Diogenes. “Ya..” Jawab Diogenes. “Bergeserlah ke samping, anda menghalangi cahaya matahariku..” demikian Diogenes membuktikan bahwa dia tidak kalah bahagia dengan Sang Raja yang berdiri di hadapannya. Diogenes merasa sudah memiliki segalanya untuk bahagia!


Kaum sinis juga percaya bahwa orang juga tidak perlu memikirkan kesehatan. Bahkan penderitaan dan kematian pun tidak boleh mengusik kebahagiaan mereka. Secara ekstrim mereka juga merasa tidak perlu menderita karena memikirkan penderitaan orang lain. Mereka berpikir orang lain masih merasa menderita karena mereka menggantungkan kebahagiaan pada sesuatu. Sehingga kaum sinisme tidak mempedulikan apapun selain kebahagiaan dengan meninggalkan ketergantungan pada apapun.


Karena itulah, kini istilah sinis banyak diartikan sebagai bentuk cemoohan kepada ketulusan manusia, serta ketidakpedulian terhadap penderitaan orang lain.

Minggu, 12 April 2015

SISI BAIK KEJAHATAN


Tulisan ini penulis buat setelah teringat peristiwa ganjil yang terjadi beberapa waktu silam. Saat itu penulis sedang menemani belajar membaca Alqur’an warga binaan di sebuah Lembaga Pemasyarakatan. Napi yang dibina di Lp ini terdiri dari berbagai modus tindak pidana mulai dari pencurian, pemerkosaan, perampokan, bahkan ada pelaku pembunuhan.


Di sebelah barat Masjid yang digunakan untuk belajar mengaji terdapat sebuah ruang istirahat yang biasa digunakan warga binaan untuk beristirahat setelah melakukan kegiatan. Di ruang itu terdapat sebuah televisi ukuran 14 inchi yang digunakan sebagai hiburan seluruh warga pada jam-jam tertentu.


Hari itu sebelum acara belajar mengaji dimulai, para warga masih menonton sebuah film di televisi itu. di sinilah keganjilan yang penulis maksud terjadi. Saat film itu menampilkan adegan tokoh antagonist (musuh) melakukan kejahatan pada tokoh protagonist (baik), para warga pun menunjukkan kegeraman dan ketidak sukaannya. Ternyata meskipun para warga binaan ini adalah pelaku kejahatan, nyatanya mereka juga benci sebuah perlakuan jahat yang mereka lihat (dalam televisi).


Ya, bahkan seorang perampok pun bisa membenci tindakan perampokan. Seorang pelaku penganiayaan pun benci melihat tindakan kekerasan. Mereka begitu benci melihat tokoh antagonist yang melakukan kejahatan, dan Sebaliknya begitu menyukai tindakan-tindakan kebaikan yang dilakukan oleh tokoh protagonist.


Apakah anda tidak merasa ganjil? Manusia yang begitu mencintai kebaikan, bisa menjadi pelaku kejahatan?


Dari situ penulis merasa tersenyum. Janganlah anda terburu melihat sosok warga binaan di penjara yang melakukan kejahatan. Kita ambil contoh diri kita sendiri. bukankah kita yang divonis “orang baik” ini tidak sepenuhnya baik? kita pasti pernah melakukan kejahatan-kejahatan yang merugikan kita sendiri atau orang lain.


Mahasiswa akan senang jika menjadi pintar dan berprestasi. Tapi, mengapa plagiasi, mencontek, membolos, dan perbuatan tidak baik lainnya tetap dilakukan? Saat ditanya pendapat kita tentang orang tamak dan sombong, pasti kita akan menjawab itu tidak baik. tapi, hasrat kita kerapkali bergetar ketika melihat uang melimpah atau mobil mewah. Para aktivis akan terbakar semangatnya jika membaca sejarah perjuangan dan kebaikan pahlawan masa lalu, namun mengapa ada saja aktivis menjadi koruptor setelah menjadi pejabat?


Artinya, secara pribadi memang saya harus mengakui bahwa saya sangat menyukai kebaikan. Tapi, saya tidak selalu bisa menjadi orang baik. saya sangat membenci kejahatan. Tapi, terkadang saya melakukan perbuatan buruk dalam kondisi sangat sadar. Maaf, tapi saya rasa, sebagai manusia anda juga seperti itu :-D


Entah benar atau tidak, saat saya melihat keganjilan itu saya melihat wujud sejati manusia yang suci, dan selalu menyukai kebaikan. Film, dalam hal ini menyajikan “khayalan” terpendam para warga binaan tentang kebaikan yang mereka rindukan. Namun dunia nyata, menyajikan kenyataan yang terkadang berlawanan dengan khayalan mereka. Hal inipun sering terjadi kepada kita.


Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, jika memang manusia hakikatnya menyukai kebaikan..lalu dari mana kejahatan itu muncul?


Socrates mengatakan bahwa manusia berbuat jahat karena mereka tidak tahu apa yang baik bagi dirinya. Pengetahuan yang benar akan mengantarkan manusia kepada jalan yang benar. Ilmu psikologi mengatakan sifat/tabiat bawaan lahir manusia ataupun hasil pengaruh dari lingkungan sosial bisa jadi penyebabnya. Aktivis mengatakan tekanan kebutuhan hidup, kurangnya perhatian pemerintah adalah faktor maraknya kejahatan. Agamawan mengatakan nafsu dan syetan biang keladinya. Orang awam mengatakan dengan wajah polos, “ya… semua teori itu benar dan dapat menjadi alasan mengapa manusia berbuat jahat.”


Namun pada diri saya dan pada diri mereka (yang berbuat jahat), saya melihat sesuatu yang dinamakan dengan rasa kecewa. Keinginan dan khayalan kita berbeda dengan kenyataan di depan mata. Rasa kecewa ini membuat kita terjatuh pada perbuatan yang merugikan diri sendiri ataupun orang lain.


Kita ingin pintar, tapi materi pelajaran begitu sulit. Kita ingin kaya, tapi hegemoni kapital terus berkuasa. Kita ingin mendapatkan orang yang kita cinta, tapi dia mencintai orang lain. Kita ingin skolah tinggi, tapi dana tak mencukupi. Dan ada begitu banyak kenyataan-kenyataan lain yang bertentangan dengan harapan kita. Ketidak siapan kita menerima kenyataan itu membuat kita kecewa sehingga kita berbuat nekat dan bertindak buruk melanggar etika dan norma yang telah disepakati bersama.


Maka, jika kita terus menuruti rasa kecewa kita..kita akan benar-benar menjadi seorang penjahat yang hanya mengkhayal dan mengoceh tentang kebaikan tapi bertingkah buruk secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan. Karena apa? Karena dunia pasti akan mengecewakan. Dia merayu dan menggoda manusia, dia menguji manusia…ketika manusia terlarut (kadunyan) maka dunia akan membenamkan kita pada rasa kecewa sepanjang masa. Itulah tugas dunia.


Besar keyakinan saya bahwa semua orang memendam rasa cinta pada kebaikan. Namun, Untuk menjadi baik, pintar, alim, mampu menjaga jiwa-raga dari syetan..memang perlu usaha dan keteguhan. Semoga kita semua diberi kekuatan untuk menghadapi kenyataan dunia yang memang tidak selalu sesuai dengan harapan. Semoga kita diberi kekuatan untuk berteguh diri agar tidak terjerumus ke perbuatan buruk akibat rasa kecewa pada dunia. Karena seperti ucapan di atas, tugas dunia adalah membuat manusia kecewa.

Rabu, 08 April 2015

Filosofi Bungkus Rokok

Okelah, mari sebentar saja kita mengalihkan akal kita ke dalam realita-realita yang lain. Realita yang jarang kita perhatikan, padahal menyenangkan, dan meng-inspirasi-kan. Realita sebagai tempat kita belajar dan menginstropeksi diri.


 Bagaimana kalau kita mulai dengan sebungkus rokok di kantong anda (maaf bagi yang “nglinting”tidak termasuk). Ada apa memangnya dengan bungkus rokok? Mungkin itu yang anda pikirkan. Karena memang, anda jarang memperhatikan bungkusnya..yang penting isinya. Sehingga tulisan bercetak tebal “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin”, bahkan sekarang ada gambar-gambar mengerikan itu tidak juga membuat anda begidik,  tak mempengaruhi anda untuk tetap setia pada isi bungkus itu.


 Seandainya saja sifat cuek pada bungkus dan mementingkan isi ini dapat kita praktekkan ke dalam kehidupan sehari-hari, wah..pasti sangat bermanfaat. Misalnya, dalam memilih pasangan. Kalaupun toh (maaf) bungkusnya ala kadarnya. yang penting isinya luar biasa baik, punya inner beauty/inner handsome.


 Selanjutnya, tak ada kejujuran sejujur bungkus rokok. Masak racun ngaku racun. Bukankah ini sama halnya dengan maling ngaku maling? Kalau seandainya kita menjadi seperti bungkus rokok yang saking jujurnya mengumbar “aibnya” seperti ini, kira-kira baik apa tidak ya?


 Oya, masih ada satu lagi sifat bungkus rokok yang ngganjil. Yaitu dia selalu menasehati untuk waspada pada bahaya, padahal sumber bahaya itu ada pada dirinya sendiri. Hmmm..kalau untuk yang ini, kayaknya sudah pada menular pada manusia. Contohnya saudara2. Ada lho pejabat yang nyuruh hentikan korupsi, “korupsi menghancurkan negeri. Katakan tidak pada korupsi..!! stop korupsi..!!” tapi helahdalah..beberapa bulan yang lalu diperiksalah ia sebagai tersangka kasus korupsi. Nah, mungkin ini juga sering terjadi pada kita. Yang bisanya Cuma ngritik..menasehati..agar jangan begini-begitu. Padahal, yang suka begini-begitu adalah kita sendiri. Menasehati supaya begini-begitu, padahal dirinya sendiri belum bisa begini-begitu.


haha. ~Sandal Njepit

Filsafat: Berpikir adalah hal yang sealamiah bernafas



Filsafat, adalah sebuah kata yang akan menimbulkan banyak cibiran ketika diucapkan dewasa ini. Karena saat ini kita hidup pada era dimana hal-hal yang mengawang adalah sebuah kekonyolan yang pantas untuk ditertawakan. Mengawang bisa berarti: rumit dan tinggi sehingga hanya orang tertentu saja yang dapat melakukannya. Tapi, juga bisa berarti tidak realistis sehingga hanya orang kurang kerjaan yang mau melakukannya. Hal ini menyebabkan filsafat menjadi makhluk buruk rupa yang sama sekali tidak menarik untuk dinikmati.


Ya, tidak bisa dinikmati adalah hal yang paling dihindari pada era ini, di mana setiap orang sibuk berburu uang, popularitas, dan bentuk kepuasan material lainnya. yang paling buruk dari semuanya adalah, antusiasme akan keagamaan yang meledak-ledak tidak sebatas menganggap filsafat sebagai omong kosong yang dirumitkan. Namun juga menganggapnya sebagai ancaman yang membahayakan.


Kebebasan bernalar dan berpikir merupakan ancaman serius bagi pemeluk agama yang ketakutan bahwa dasar-dasar agamanya akan kehilangan kekohannya saat manusia mulai berpikir kritis. Filsafat menjadi semacam ancaman kekacauan, tafsir bebas sampai kemurtadan. Atau bahkan salah satu penyebab kegilaan. Maka dari itu, orang awam dilarang mencium bau yang bernama filsafat.


Kalaupun filsafat ini masih mempunyai nilai, dia hanya digunakan sebagai pemanis buatan dalam bertutur kisah, sebagai cabai penambah pedas dalam berdebat,  atau dalam membuat adonan pidato-pidato agar tambah manis untuk didengar. Demikian, filsafat mempunyai nilai menarik sebagai hiasan, bukan lagi sebagai kajian.


Segala mitos tentang filsafat di atas memang terlalu menyeramkan. Namun, filsafat tidaklah seburuk itu. Kegiatan bernalar dan berpikir adalah hal yang sangat wajar. Sealamiah bernafas, sealamiah jatuh cinta, selamiah bermimpi indah. Tidak akan bisa dihentikan atau dibatasi kecuali oleh rasa takut.


Rasa takut yang membuat nalar manusia berhenti berpikir ini membuat perilaku aneh pada manusia. Berperang menumpah darah demi sebuah janji langit yang ironisnya, janji itu adalah janji kedamaian dan ketentraman. Atau mengoyak alam dengan teknologi sains modern yang ironisnya, sains itu diciptakan dalam rangka memperbaiki kehidupan.


Segala macam rasa takut yang ditimbulkan oleh fanatisme sempit keagamaan, fanatisme sempit theory sains modern dapat diselamatkan dengan nalar berpikir yang yang terus mengalir, terbuka untuk memperbaiki setiap kesalahan yang telah dilakukan.

Selasa, 07 April 2015

DEMOCRITUS: Apa bahan baku dunia?


Segala yang “ada”, pasti mempunyai dua sebab: pertama sebab material, yaitu bahan baku. Yang kedua adalah sebab efisien. Yaitu sebab yang mengetahui potensi tiap bahan baku serta mempunyai kemampuan untuk menggabungkan potensi-potensi itu menjadi sesuatu. Hal inilah yang menjadi kebingungan Democritus. Dia merenungi bahwa jika dunia ini ada, lalu apa bahan bakunya?

Democritus adalah seorang filosof alam yang hidup tahun 460-370 SM. Dia lahir di kota kecil Abdera, pantai utara Aegea. Sebagai seseorang yang jatuh cinta kepada alam, dia banyak menghabiskan waktunya untuk merenungi dan mengamati alam di sekitarnya. Meskipun dia hidup ribuan tahun lalu, di mana zaman itu belum ada tekhnologi penelitian seperti saat ini, namun kemampuan pengamatan dan akalnya yang cerdas membuatnya bisa mengembangkan konsep yang dikenal hingga saat ini, yaitu Atom.

Democritus setuju dengan para pendahulunya bahwa segala perubahan yang terjadi di alam ini tidaklah disebabkan oleh sesuatu yang benar-benar “berubah”. Namun perubahan ini hakikatnya disebabkan oleh sesuatu yang “tetap”. Maksudnya, dia beranggapan bahwa dunia ini terbentuk dari balok-balok super kecil yang mempunyai bentuk tetap dengan model yang berbeda-beda. Balok-balok super kecil ini dia beri nama Atom.

Kata a-tom sendiri berarti “tidak dapat dipotong”. Atom-atom ini mempunyai “kait” dan “mata kait” serta bertebaran di segala arah. Kait dan mata kait itu menyebabkan bergabungnya antar atom jika mereka bertemu satu dengan yang lainnya. dan karena model dari atom-atom ini berbeda, maka mereka bisa menyatu dan membentuk berbagai hal yang beragam. bergabungnya atom inilah akhirnya yang membentuk segala yang ada di dunia ini.

Kira-kira simplenya begini: Semua benda itu, jika diurai, akan ketemu bahan aslinya. Misal, segelas kopi manis jika diurai bahannya dari kopi bubuk, gula, dan air. Kopi itu masih bisa diurai lagi bahannya. Gula juga masih bisa diurai lagi bahannya. Air juga masih bisa diurai lagi bahannya. Bahan-bahan dari setiap ‘bahan’ itu juga masih bisa diurai lagi, begitu seterusnya sampai tidak bisa diurai lagi. Nah titik di mana sesuatu tidak bisa diurai inilah yang namanya atom. Dengan kata lain, atom adalah bahan baku pembentuk dunia.

Lalu jika sebuah benda itu hancur, misalnya ada pohon atau binatang yang mati, atom-atomnya terurai dan membentuk benda-benda yang lain. Atom-atom yang ada di tubuh kita akan terurai saat kita mati, kemudian atom-atom itu akan menyusun kembali menjadi sesuatu yang lain.

Mengenai sebab “efisien”, yaitu bagaimana atom-atom itu bisa bergerak membentuk sesuatu? Democritus menganggap itu terjadi karena mekanis saja. Maksudnya, tiap atom mempunyai sifat sendiri-sendiri yang membuatnya bergerak. Sebagai seorang materialis, dia tidak mempercayai adanya kekuatan “ghaib” yang mengusai dan menggerakkan semesta. Segala sesuatu memang mempunyai penyebab alamiah, dan sebab itu menempel dalam benda itu sendiri. Tidak berasal dari luar benda itu. Kata Democritus.

Terkait jiwa, Democritus menganggap bahwa jiwa itu juga tersusun dari atom-atom yang bentuknya lebih halus sehingga bisa merasuk ke dalam sesuatu. Ketika mati, jiwa itu akan terurai dan akan bergabung kembali menjadi nyawa baru yang melekat pada sesuatu yang lain yang mempunyai sifat “hidup”.

Atom-atom ini menurutnya kekal, tidak diciptakan. Atom itu “selalu” ada. Karena tidak mungkin sesuatu muncul dari ketiadaan. Dan sesuatu tidak mungkin menjadi “lenyap tiada”. Segala sesuatu hanya berubah bentuk. Jika kita melihat sebuah batu hancur, batu itu tidak lenyap. Batu itu hanya berubah bentuk menjadi hal lain. Jika seekor burung mati, dia tidak lenyap. Burung itu selalu ada, namun menjadi benda yang berbeda. Begitulah anggapan Democritus.

Kini, dengan peralatan yang canggih apa yang pernah dipikirkan Democritus itu kurang lebih ada benarnya. Alam ini tersusun dari “atom-atom” yang berbeda-beda yang menyatu dan berpisah kembali sesuai dengan hukum alam. sebuah atom hydrogen dalam ujung rambutku bisa jadi dulunya adalah hydrogen yang terdapat pada sebutir telur ayam. Sepotong atom karbon dalam ujung jariku bisa jadi dahulunya adalah karbon yang terdapat pada ekor dinosaurus.

Namun pada zaman sekarang, ilmuwan juga telah menemukan bahwa atom-atom itu nyatanya masih bisa dibagi lagi menjadi partikel elementer: proton, neutron, elektron. Dan ini masih bisa berkembang lagi. Democritus memang tidak memiliki perangkat penelitian selain otaknya, yang membuatnya tidak mempunyai banyak pilihan dalam meneliti.

~Sandal Njepit

Referensi:
*Madilog, Tan Malaka.
*Wikipedia.com
*Shopi’es Verden, Jostein Gaardner.

HERACLITUS: Tuhan Adalah Pertentangan Yang Berhubungan



Apakah yang paling mencolok di dunia ini? Jika anda menjawab makanan , berarti anda hanyalah orang yang sedang lapar. Jika anda menjawab pakaian bagus, mungkin anda sedang telanjang. Jika anda menjawab air, mungkin anda hanyalah orang yang sedang kehausan. Jika kita mengamati dunia secara luas, kita akan mendapati bahwa yang paling mencolok adalah “pertentangan” yang menjadi sumber gerak dunia. Begitu kata Heraclitus.

Ya, kali ini kita akan membahas seorang manusia yang mencoba merenungi hakikat dunia ini tidak sebatas pada “kebutuhan” badaniahnya saja, tetapi secara luas dalam ragka menyibak misteri dunia ini dengan akal sehat. Namanya adalah Heraclitus.

Heraclitus hidup pada tahun 540-480 SM, dia lahir di Ephesos sebuah kota kecil di Yunani kuno. Wilayah itu sekarang menjadi kota Efesos di pesisir barat asia kecil provinsi Izmir, Turki. Hidup pada masa ribuan tahun lalu yang dipenuhi dengan mitos-mitos tentang dewa da makhluk-makhluk ghain penguasa dunia tidak menghalangi Heraclitus untuk berpikir rasional. Dia melakukan pengamatan dan penelitian meski tanpa peralatan canggih. Satu-satunya yang dia miliki adalah akal yang cerdas.

Yang begitu menarik perhatiannya akan dunia adalah Perubahan. Dia melihat dunia ini berubah secara terus-menerus. Tidak ada yang tetap di dunia ini. Segala sesuatu terus mengalir. Bergerak dan berubah sepanjang waktu. Oleh karena itu, “kita tidak bisa melangkah dua kali ke dalam sungai yang sama”. Kalau kita melangkah ke dalam sungai untuk kedua kalinya, sungai atau langkah kita sudah berubah.

Heraclitus kemudian mencirikan bahwa segala gerak di dunia ini terjadi karena adanya kebalikan atau pertentangan. Air mengalir karena adanya perbedaan ketinggian. Api menyala karena adanya gesekan.

Dalam hal kemanusiaan pun begitu. Jika kita tidak pernah sakit, kita tidak akan tahu nimatnya sehat. Obat ada karena ada penyakit. Jika kita tidak pernah mengalami peperangan, kita tidak dapat merasakan nikmatnya kedamaian. Dan jika tidak ada musim salju, kita juga tidak akan mengetahui musm semi.

Yang baik ataupun yang buruk, yang tinggi maupun yang rendah, semuanya mempunyai tempat dan peran dalam ragka menciptakan dan menggerakkan dunia ini secara teratur. Tanpa adanya perbedaan dan pertentangan, dunia ini tidak akan pernah ada, demikian keyakinan Heraclitus.

Maka “Tuhan adalah siang dan malam, musim salju dan musim semi, gelap dan terang, lapar dan kenyang, perang dan kedamaian,” begitu dia berujar.

“Tuhan” yang dia maksud tentunya bukan dewa-dewa dalam mitos yang berkembang pada masanya. Bagi Heraclitus, Tuhan atau Dewa adalah sesuatu yang mencakup seluruh dunia. “Sesungguhnya, Tuhan itu terlihat sangat jelas karena dia hadir di dunia ini. Dan aku melihatnya menggerakka dunia ini dengan setiap perbedaan dan pertentangan alam yang terus menerus,” katanya.

Selanjutnya Heraclitus juga meyakini akan adanya “akal universal” yang menuntun perjalanan dunia ini sehingga geraknya begitu teratur. Akal universal ini ada, hadir, dan merasuk ke dalam diri kita semua dan seluruh alam. Hal ini mengantarkannya kepada keyakinan selanjutnya, yaitu bahwa segala perubahan yang terjadi secara terus menerus ini membuatnya melihat suatu entitas atau kesatuan yang merupakan sumber dari segala sesuatu. Sumber ini dimaknainya sebagai Tuhan, yang dia sebut dengan nama Logos.

~Sandal Njepit

Senin, 06 April 2015

ASWAJA= Asli Warisan Jawa, kah?



Ahlu Sunnah wal-jama’ah (Aswaja), sebuah jalan yang menjadi rebutan banyak kelompok dalam agama Islam. Tidak heran, mengingat jalan ini adalah jalan menuju surga sebagaimana yang telah disabdakan nabi yang mulia, Muhammad bin Abdulloh. Nampaknya banyak yang beranggapan bahwa jalan ini begitu sempit, sehingga jalan satu-satunya untuk bisa melewatinya adalah dengan menendang, menghalau, sampai memerangi sesama “musafir” yang ingin melewatinya. Banyak yang menganggap jalan ini tidak cukup luas untuk berjalan bersama.

Kelompok-kelompok Islam puritan bersikeras bahwa Islam yang lurus harus ditegakkan di bumi Indonesia. “Lurus” dalam pengertian mereka adalah Islam yang sama dengan yang diajarkan oleh Rosululloh Muhammad SAW. Berhubung Rosul akhir zaman kita terlahir di tanah Arab, maka pola hidup Arabiah menjadi patokan dalam “berislam”.

Namun di sisi lain, Islam yang menyebar dari tanah asalnya dan akhirnya sampai di tanah Jawa secara alamiah mengalami akulturasi karena memang sudah ada agama dan budaya lokal yang menyambut kedatangan Islam. Pun para pendakwah awal Islam di tanah Jawa yang kita kenal dengan wali songo sadar betul akan hal ini, sehingga metode dakwah yang mereka gunakan adalah dengan perlahan “Mengislamkan budaya yang sudah ada”, bukan menghilangkan budaya yang ada. Maka, muncullah kalangan yang beranggapan bahwa Islam tetap lurus selama masih sesuai dengan ajaran Rosululloh Muhammad SAW. “Lurus” dalam kaca mata kelompok ini adalah Islam yang sesuai dengan ajaran Rosul, Rosul yang mengajarkan kepada kita bahwa Islam adalah rahmatan lil’alamiin, mengayomi seluruh alam.

Dengan kata lain, ada kelompok puritan yang menganggap Islam adalah paket “agama dan budaya” yang kesemuanya harus dijalankan secara kaku dan tegas. Sehingga budaya yang non-Arab dianggap tidak islami.

Di sisi lain ada yang menganggap bahwa Islam adalah Agama yang penuh dengan “nilai-nilai” ketuhanan, di mana nilai-nilai ini bisa merasuk ke manapun di setiap penjuru bumi. Sehingga kelompok ini menganggap kearifan-kearifan lokal dari kebudayaan apapun bisa “diislamkan” dengan mengubah “esensi dan nilai-nilainya” meski tanpa mengubah bentuknya. Kita bisa melihat tradisi di tanah jawa pra-islam semisal selamatan serta kirim do’a kepada mayit dalam jumlah hari tertentu tetap eksis, namun esensi dan nilai-nilainya sudah menjadi islam.

Dari sini mulai muncul sebuah adagium, ASWAJA: Asli Warisan Jawa. Tentu hal ini dilontarkan oleh kalangan puritanisme yang menganggap “Islam dan budaya Arab” adalah satu paket. Hal-hal yang non-arab tidak lagi dianggap islami. Aswaja yang masih berbau kearifan lokal dicap bukanlah Ahlu sunnah wal jama’ah lagi.

Padahal kalau kita melihat secara obyektif, tradisi-tradisi itu penuh dengan nilai-nilai islam. Doa-doa yang dilantunkan, niat prosesi acara, tujuan diadakan acara, semuanya tidak keluar dari koridor islam, apabila islam dimaknai sebagai agama yang berisi nilai-nilai ketuhanan. Bukan budaya belaka.

Memang benar, banyak dari umat muslim Indonesia masih mengamalkan tradisi masa lalu yang berkembang di tanah Jawa. Namun, kini dalam tradisi itu sudah terkandung nilai-niai Islam.

Para wali (songo) telah meresapkan nilai-nilai Islam, dan warga Nusantara dengan tulus meresapi nilai-nilai islam yang indah dan sejuk itu ke dalam jiwa mereka. Namun, secara kebudayaan, budaya padang pasir yang gersang memang akan sulit sekali untuk diterima di tanah yang hijau dan subur. Tapi, syukurlah Islam itu bukanlah budaya, tapi agama yang mengayomi seluruh alam. :-)

~Sandal Njepit