Ahlu Sunnah
wal-jama’ah (Aswaja), sebuah jalan yang menjadi rebutan banyak kelompok dalam
agama Islam. Tidak heran, mengingat jalan ini adalah jalan menuju surga
sebagaimana yang telah disabdakan nabi yang mulia, Muhammad bin Abdulloh.
Nampaknya banyak yang beranggapan bahwa jalan ini begitu sempit, sehingga jalan
satu-satunya untuk bisa melewatinya adalah dengan menendang, menghalau, sampai
memerangi sesama “musafir” yang ingin melewatinya. Banyak yang menganggap jalan
ini tidak cukup luas untuk berjalan bersama.
Kelompok-kelompok
Islam puritan bersikeras bahwa Islam yang lurus harus ditegakkan di bumi
Indonesia. “Lurus” dalam pengertian mereka adalah Islam yang sama dengan yang
diajarkan oleh Rosululloh Muhammad SAW. Berhubung Rosul akhir zaman kita
terlahir di tanah Arab, maka pola hidup Arabiah menjadi patokan dalam
“berislam”.
Namun di
sisi lain, Islam yang menyebar dari tanah asalnya dan akhirnya sampai di tanah
Jawa secara alamiah mengalami akulturasi karena memang sudah ada agama dan
budaya lokal yang menyambut kedatangan Islam. Pun para pendakwah awal Islam di
tanah Jawa yang kita kenal dengan wali songo sadar betul akan hal ini, sehingga
metode dakwah yang mereka gunakan adalah dengan perlahan “Mengislamkan budaya
yang sudah ada”, bukan menghilangkan budaya yang ada. Maka, muncullah kalangan
yang beranggapan bahwa Islam tetap lurus selama masih sesuai dengan ajaran
Rosululloh Muhammad SAW. “Lurus” dalam kaca mata kelompok ini adalah Islam yang
sesuai dengan ajaran Rosul, Rosul yang mengajarkan kepada kita bahwa Islam
adalah rahmatan lil’alamiin, mengayomi seluruh alam.
Dengan kata
lain, ada kelompok puritan yang menganggap Islam adalah paket “agama dan
budaya” yang kesemuanya harus dijalankan secara kaku dan tegas. Sehingga budaya
yang non-Arab dianggap tidak islami.
Di sisi lain
ada yang menganggap bahwa Islam adalah Agama yang penuh dengan “nilai-nilai”
ketuhanan, di mana nilai-nilai ini bisa merasuk ke manapun di setiap penjuru
bumi. Sehingga kelompok ini menganggap kearifan-kearifan lokal dari kebudayaan
apapun bisa “diislamkan” dengan mengubah “esensi dan nilai-nilainya” meski
tanpa mengubah bentuknya. Kita bisa melihat tradisi di tanah jawa pra-islam
semisal selamatan serta kirim do’a kepada mayit dalam jumlah hari tertentu
tetap eksis, namun esensi dan nilai-nilainya sudah menjadi islam.
Dari sini
mulai muncul sebuah adagium, ASWAJA: Asli Warisan Jawa. Tentu hal ini
dilontarkan oleh kalangan puritanisme yang menganggap “Islam dan budaya Arab”
adalah satu paket. Hal-hal yang non-arab tidak lagi dianggap islami. Aswaja
yang masih berbau kearifan lokal dicap bukanlah Ahlu sunnah wal jama’ah lagi.
Padahal
kalau kita melihat secara obyektif, tradisi-tradisi itu penuh dengan
nilai-nilai islam. Doa-doa yang dilantunkan, niat prosesi acara, tujuan
diadakan acara, semuanya tidak keluar dari koridor islam, apabila islam dimaknai
sebagai agama yang berisi nilai-nilai ketuhanan. Bukan budaya belaka.
Memang
benar, banyak dari umat muslim Indonesia masih mengamalkan tradisi masa lalu
yang berkembang di tanah Jawa. Namun, kini dalam tradisi itu sudah terkandung
nilai-niai Islam.
Para wali
(songo) telah meresapkan nilai-nilai Islam, dan warga Nusantara dengan tulus
meresapi nilai-nilai islam yang indah dan sejuk itu ke dalam jiwa mereka.
Namun, secara kebudayaan, budaya padang pasir yang gersang memang akan sulit
sekali untuk diterima di tanah yang hijau dan subur. Tapi, syukurlah Islam itu
bukanlah budaya, tapi agama yang mengayomi seluruh alam. :-)
~Sandal Njepit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar