Senin, 06 April 2015

ASWAJA= Asli Warisan Jawa, kah?



Ahlu Sunnah wal-jama’ah (Aswaja), sebuah jalan yang menjadi rebutan banyak kelompok dalam agama Islam. Tidak heran, mengingat jalan ini adalah jalan menuju surga sebagaimana yang telah disabdakan nabi yang mulia, Muhammad bin Abdulloh. Nampaknya banyak yang beranggapan bahwa jalan ini begitu sempit, sehingga jalan satu-satunya untuk bisa melewatinya adalah dengan menendang, menghalau, sampai memerangi sesama “musafir” yang ingin melewatinya. Banyak yang menganggap jalan ini tidak cukup luas untuk berjalan bersama.

Kelompok-kelompok Islam puritan bersikeras bahwa Islam yang lurus harus ditegakkan di bumi Indonesia. “Lurus” dalam pengertian mereka adalah Islam yang sama dengan yang diajarkan oleh Rosululloh Muhammad SAW. Berhubung Rosul akhir zaman kita terlahir di tanah Arab, maka pola hidup Arabiah menjadi patokan dalam “berislam”.

Namun di sisi lain, Islam yang menyebar dari tanah asalnya dan akhirnya sampai di tanah Jawa secara alamiah mengalami akulturasi karena memang sudah ada agama dan budaya lokal yang menyambut kedatangan Islam. Pun para pendakwah awal Islam di tanah Jawa yang kita kenal dengan wali songo sadar betul akan hal ini, sehingga metode dakwah yang mereka gunakan adalah dengan perlahan “Mengislamkan budaya yang sudah ada”, bukan menghilangkan budaya yang ada. Maka, muncullah kalangan yang beranggapan bahwa Islam tetap lurus selama masih sesuai dengan ajaran Rosululloh Muhammad SAW. “Lurus” dalam kaca mata kelompok ini adalah Islam yang sesuai dengan ajaran Rosul, Rosul yang mengajarkan kepada kita bahwa Islam adalah rahmatan lil’alamiin, mengayomi seluruh alam.

Dengan kata lain, ada kelompok puritan yang menganggap Islam adalah paket “agama dan budaya” yang kesemuanya harus dijalankan secara kaku dan tegas. Sehingga budaya yang non-Arab dianggap tidak islami.

Di sisi lain ada yang menganggap bahwa Islam adalah Agama yang penuh dengan “nilai-nilai” ketuhanan, di mana nilai-nilai ini bisa merasuk ke manapun di setiap penjuru bumi. Sehingga kelompok ini menganggap kearifan-kearifan lokal dari kebudayaan apapun bisa “diislamkan” dengan mengubah “esensi dan nilai-nilainya” meski tanpa mengubah bentuknya. Kita bisa melihat tradisi di tanah jawa pra-islam semisal selamatan serta kirim do’a kepada mayit dalam jumlah hari tertentu tetap eksis, namun esensi dan nilai-nilainya sudah menjadi islam.

Dari sini mulai muncul sebuah adagium, ASWAJA: Asli Warisan Jawa. Tentu hal ini dilontarkan oleh kalangan puritanisme yang menganggap “Islam dan budaya Arab” adalah satu paket. Hal-hal yang non-arab tidak lagi dianggap islami. Aswaja yang masih berbau kearifan lokal dicap bukanlah Ahlu sunnah wal jama’ah lagi.

Padahal kalau kita melihat secara obyektif, tradisi-tradisi itu penuh dengan nilai-nilai islam. Doa-doa yang dilantunkan, niat prosesi acara, tujuan diadakan acara, semuanya tidak keluar dari koridor islam, apabila islam dimaknai sebagai agama yang berisi nilai-nilai ketuhanan. Bukan budaya belaka.

Memang benar, banyak dari umat muslim Indonesia masih mengamalkan tradisi masa lalu yang berkembang di tanah Jawa. Namun, kini dalam tradisi itu sudah terkandung nilai-niai Islam.

Para wali (songo) telah meresapkan nilai-nilai Islam, dan warga Nusantara dengan tulus meresapi nilai-nilai islam yang indah dan sejuk itu ke dalam jiwa mereka. Namun, secara kebudayaan, budaya padang pasir yang gersang memang akan sulit sekali untuk diterima di tanah yang hijau dan subur. Tapi, syukurlah Islam itu bukanlah budaya, tapi agama yang mengayomi seluruh alam. :-)

~Sandal Njepit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar