Saat ini kemiskinan adalah sebuah hantu menyeramkan yang menghantui semua manusia. hal ini dapat terjadi saat makna miskin hanyalah “kekurangan materi” belaka. Andai saja miskin dimaknai sebagai bentuk “terlepasnya manusia dari penjara materi” maka kemiskinan justru dapat menjadi malaikat penyelamat manusia dari rasa sedih dan gelisah.
Kita bisa mengambil contoh dari kaum sinisme. Aliran Sinisme didirikan oleh Anthistenes di Athena pada tahun 400 SM. Anthistenes adalah murid Socrates yang sangat tepukau dengan kesederhanaan gurunya. Seperti kita tahu, Socrates adalah seorang filosof yang terkenal “zuhud”. Pernah pada suatu ketika dia berdiri di pasar, melihat bermacam barang yang dijual. Kemudian dengan lantang dia berucap “Lihatlah..betapa banyak barang yang sejatinya tidak kuperlukan!”
Kaum sinis menekankan bahwa kebahagiaan sejati tidaklah terdapat dalam kelebihan lahiriah seperti kemewahan materi, kekuasaan politik, atau kesehatan yang baik. kebahagiaan sejati hanya bisa didapatkan saat manusia terlepas dari segala bentuk ketergantungan pada segala sesuatu yang acak. Dan karena kebahagiaan tidak akan didapatkan dari kuntungan-keuntungan semacam itu, maka semua orang dapat meraihnya. Dan yang lebih penting adalah, kebahagiaan yang di dapat dari melepaskan diri dari segala ketergantungan itu akan abadi. Sekali di dapat, dia tidak akan terlepas lagi.
Jika kebahagiaan itu terletak pada emas, maka jika emas itu hilang maka hilag pula kebahagiaan. Jika bahagia terletak pada ketampanan atau atau kecantikan, maka kebahagiaan akan berangsur sirna seiring umur yang menua. Kaum sinis percaya bahwa kebahagiaan itu haruslah abadi..
Kaum sinis yang paling terkenal adalah Diogenes, salah seorang murid Anisthenes. Yang konon dia hidup dalam sebuah tong dan tidak memiliki apapun kecuali sebuah mantel, tongkat, dan katong roti. (sehingga tidak mudah mencuri kebahagiaan darinya!). Pernah pada suatu hari, ketika dia sedang duduk di samping tongnya menikmati cahaya matahari, dia dikunjungi oleh Alexander Agung. Sang Raja berdiri di hadapannya dan bertanya apakah dia dapat melakukan sesuatu untuk membantu Diogenes. “Ya..” Jawab Diogenes. “Bergeserlah ke samping, anda menghalangi cahaya matahariku..” demikian Diogenes membuktikan bahwa dia tidak kalah bahagia dengan Sang Raja yang berdiri di hadapannya. Diogenes merasa sudah memiliki segalanya untuk bahagia!
Kaum sinis juga percaya bahwa orang juga tidak perlu memikirkan kesehatan. Bahkan penderitaan dan kematian pun tidak boleh mengusik kebahagiaan mereka. Secara ekstrim mereka juga merasa tidak perlu menderita karena memikirkan penderitaan orang lain. Mereka berpikir orang lain masih merasa menderita karena mereka menggantungkan kebahagiaan pada sesuatu. Sehingga kaum sinisme tidak mempedulikan apapun selain kebahagiaan dengan meninggalkan ketergantungan pada apapun.
Karena itulah, kini istilah sinis banyak diartikan sebagai bentuk cemoohan kepada ketulusan manusia, serta ketidakpedulian terhadap penderitaan orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar