Minggu, 05 April 2015

SEJARAH PENDIDIKAN INDONESIA

       
 Secuil Sejarah Pendidikan Bangsa

Satu hal yang sangat penting bagi umat manusia yaitu Pendidikan. Dengan terdidiknya manusia, maka kemampuan kemanusiaannya dapat berkembang untuk menunjang kebaikan kehidupannya. Bahkan pendidikan dapat menjadi senjata yang tajam guna melawan penjajahan. Penjajahan yang membodohkan. Itulah mengapa Penjajah Belanda dalam perjalanan sejarahnya menunjukkan bagaimana ia menerapkan kebijakan pendidikan yang diskriminatif dan menghalangi perkembangan pendidikan lokal masyarakat yang sudah ada. Pada 1882, Belanda membentuk pristerraden yang mendapat tugas mengawasi pengajaran agama di pesantren-pesantren. Pada 1905, Belanda mengeluarkan peraturan bahwa orang yang akan memberikan pengajaran harus minta izin dahulu[1].
            Tanpa Pendidikan maka wabah kebodohan dan kemiskinan menyebar dengan cepat ke seluruh Nusantara. Karena kita semua pasti sudah menyadari arti penting dari pendidikan sebagai jembatan emas menuju peradaban masa depan manusia yang lebih baik. Sekitar tahun 1800 Belanda sebenarnya sudah memberikan pendidikan bagi warga Nusantara, tetapi yang dapat menikmati pendidikan itu hanyalah kaum bangsawan yang statusnya disamakan dengan warga Belanda.
Namun seiring semakin meluasnya daerah kekuasaan Belanda di tanah air, pemerintah Hindia-Belanda pada waktu itu membutuhkan pegawai rendahan dengan gaji rendah untuk membantu bekerja di kantor-kantor yang berada dibawah kontrol Hindia-Belanda. Dengan alasan ini pendidikan bagi warga Nusantara mulai mendapat perhatian.
Maka keluarlah keputusan Raja tanggal 30 September 1848 No. 95, yang isinya tentang penetapan anggaran belanja pengajaran bagi orang-orang Indonesia, dan mulailah pemerintah Hindia-Belanda mendirikan sekolah rendah bagi anak-anak Bumiputera (inladse lagere school) di Pasuruan dan Jepara. Tujuan sekolah ini adalah untuk mendidik calon pegawai rendahan di kantor-kantor pemerintah[2].
Di zaman pemerintahan kolonial Hindia-Belanda ini terdapat tiga tingkatan pendidikan, yaitu pendidikan rendah, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Pendidikan rendah (lagere onderwijs) bertujuan untuk mendidik calon pegawai rendahan di kantor-kantor pemerintah. Pendidikan ini dibagi menjadi dua macam yaitu sekolah kelas satu yang diperuntukkan bagi anak-anak tokoh masyarakat dan warga bumiputra terhormat lainnya. Dan sekolah kelas dua yang diperuntukkan bagi warga Bumiputra pada umumnya. Selain itu, berkat jasa Gubernur Jenderal Van Heutz, pada 1906 didirikan pula sekolah yang lebih rendah yaitu “sekolah desa (volgschool). Lama belajarnya 3 tahun, bahasa pengantarnya bahasa daerah, dan materi pengajarannya terpusat pada membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Jadi sebenarnya sekolah ini seperti kursus pemberantasan buta huruf.
Pendidikan menengah dinamakan MULO (Meer Uitgebreid Lager Middelbareschool). Sekolah ini merupakan lanjutan dari sekolah rendah yang berbahasa pengantar Belanda. Lama sekolah 3 dan 4 tahun. Didirikan pertama kali tahun 1914 dan diperuntukkan bagi golongan bumiputera dan timur asing. Kelanjutan dari MULO ini adalah sekolah menengah umum AMS (Algemene Middelbarelschool). Yang terdiri dari dua jurusan yaitu jurusan pengetahuan kebudayaan dan jurusan pengetahuan alam. Yang selanjutnya saat ini kita kenal dengan jurusan IPA dan IPS dalam SLTA.
Untuk pendidikan tingkat tinggi, terdapat sekolah tinggi kedokteran (GHS= Geneskundige Hoge School) yang didirikan tahun 1928. Sekolah tinggi hukum (RHS= Rechts Hoge School) didirikan tahun 1924 di Jakarta. Dan juga ada sekolah tinggi tekhnik (THS= Technische Hoge School) berdiri tahun 1920 di Bandung[3].
Kebijakan pemerintah Hindia-Belanda dalam hal pendidikan yang dimulai dengan keputusan Raja pada tanggal 30 September 1848 No. 95 yang berlanjut dengan munculnya sekolah-sekolah diatas mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pendidikan kita hingga saat ini. Kurikulum, dan Tingkat pendidikan yang kita jalani saat ini yaitu Sekolah dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama dan Menengah Atas (SMP dan SMA), serta Sekolah Tinggi (Perguruan Tinggi) adalah hasil pengaruh dari sistem yang telah diberikan Belanda pada zaman penjajahan.
Dari pendidikan ala Belanda ini pula muncul tokoh-tokoh yang akhirnya menjadi Pahlawan Nasional seperti Soekarno, M. Hatta, Sutan syahrir dan lain sebagainya. Lahirnya putra-putra bangsa yang berpendidikan ini menjadi awal kesadaran Nasional yang berujung pada kemerdekaan Indonesia.
Kedatangan bangsa penjajah memang memberikan banyak sekali perubahan di Nusantara. Dalam bidang literasi, diketahui bahwa sebenarnya dahulu abjad yang digunakan oleh penduduk Nusantara bukanlah abjad latin seperti sekarang ini. Dalam sejarah tercatat abjad yang pernah eksis di tanah air kita adalah huruf Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa melayu atau yang biasa disebut huruf jawi. Di daerah Jawa, huruf Arab juga digunakan untuk menuliskan bahasa Jawa atau yang disebut huruf pegon disamping juga ada aksara jawa ( ha-na-ca-ra-ka-da-ta-sa-wa-la-pa-dha-ja-ya-nya-ma-ga-ba-tha-nga). Aksara Arab pada waktu itu digunakan di hampir semua daerah melayu seperti Malaysia, Srilanka, Brunei Darussalam, Indonesia dan daerah lain seiring dengan berkembangnya agama islam di wilayah tersebut.
Baru kemudian setelah bangsa kulit putih melakukan penjajaan terhadap wilayah-wilayah di Asia, abjad latin pun mulai masuk. Di Indonesia, bangsa Portugis diperkirakan yang pertama kali memperkenalkan abjad latin kepada masyarakat pribumi. Setelah Belanda berhasil berkuasa atas Indonesia, dan mengembangkan pendidikan dengan corak dan sistem barat, maka abjad latin berangsur menggusur abjad Arab di Nusantara. Dan akhirnya, sekarang kitapun membaca dan menulis dengan huruf Latin. Huruf Arab pegon/jawi hanya digunakan di pesantren-pesantren untuk memaknai kitab-kitab kuning.
~Sandal Njepit


[1]  Muhammad Rifa’i, Sejarah Pendidikan Nasional Dari Masa Klasik Hingga Modern, Yogyakarta: Ar-ruz Media, 2011 Hal. 56
[2] Ibid Hal. 60
[3]  Ibid Hal. 59-64
sumber gambar: diekz.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar