Secuil Sejarah Pendidikan Bangsa
Tanpa
Pendidikan maka wabah kebodohan dan kemiskinan menyebar dengan cepat ke seluruh
Nusantara. Karena kita semua pasti sudah menyadari arti penting dari pendidikan
sebagai jembatan emas menuju peradaban masa depan manusia yang lebih baik.
Sekitar tahun 1800 Belanda sebenarnya sudah memberikan pendidikan bagi warga
Nusantara, tetapi yang dapat menikmati pendidikan itu hanyalah kaum bangsawan
yang statusnya disamakan dengan warga Belanda.
Namun seiring semakin meluasnya daerah kekuasaan Belanda di
tanah air, pemerintah Hindia-Belanda pada waktu itu membutuhkan pegawai
rendahan dengan gaji rendah untuk membantu bekerja di kantor-kantor yang berada
dibawah kontrol Hindia-Belanda. Dengan alasan ini pendidikan bagi warga
Nusantara mulai mendapat perhatian.
Maka keluarlah keputusan Raja tanggal 30 September 1848 No.
95, yang isinya tentang penetapan anggaran belanja pengajaran bagi orang-orang
Indonesia, dan mulailah pemerintah Hindia-Belanda mendirikan sekolah rendah
bagi anak-anak Bumiputera (inladse lagere
school) di Pasuruan dan Jepara. Tujuan sekolah ini adalah untuk mendidik
calon pegawai rendahan di kantor-kantor pemerintah[2].
Di zaman pemerintahan kolonial Hindia-Belanda ini terdapat
tiga tingkatan pendidikan, yaitu pendidikan rendah, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi.
Pendidikan rendah (lagere
onderwijs) bertujuan untuk mendidik calon pegawai rendahan di kantor-kantor
pemerintah. Pendidikan ini dibagi menjadi dua macam yaitu sekolah kelas satu
yang diperuntukkan bagi anak-anak tokoh masyarakat dan warga bumiputra
terhormat lainnya. Dan sekolah kelas dua yang diperuntukkan bagi warga
Bumiputra pada umumnya. Selain itu, berkat jasa Gubernur Jenderal Van Heutz,
pada 1906 didirikan pula sekolah yang lebih rendah yaitu “sekolah desa (volgschool). Lama belajarnya 3 tahun,
bahasa pengantarnya bahasa daerah, dan materi pengajarannya terpusat pada
membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Jadi sebenarnya sekolah ini seperti
kursus pemberantasan buta huruf.
Pendidikan menengah dinamakan MULO (Meer Uitgebreid Lager Middelbareschool). Sekolah ini merupakan
lanjutan dari sekolah rendah yang berbahasa pengantar Belanda. Lama sekolah 3
dan 4 tahun. Didirikan pertama kali tahun 1914 dan diperuntukkan bagi golongan
bumiputera dan timur asing. Kelanjutan dari MULO ini adalah sekolah menengah
umum AMS (Algemene Middelbarelschool).
Yang terdiri dari dua jurusan yaitu jurusan pengetahuan kebudayaan dan jurusan
pengetahuan alam. Yang selanjutnya saat ini kita kenal dengan jurusan IPA dan
IPS dalam SLTA.
Untuk pendidikan tingkat tinggi, terdapat sekolah tinggi
kedokteran (GHS= Geneskundige Hoge School) yang didirikan tahun 1928. Sekolah
tinggi hukum (RHS= Rechts Hoge School) didirikan tahun 1924 di Jakarta. Dan
juga ada sekolah tinggi tekhnik (THS= Technische Hoge School) berdiri tahun
1920 di Bandung[3].
Kebijakan pemerintah Hindia-Belanda dalam hal pendidikan
yang dimulai dengan keputusan Raja pada tanggal 30 September 1848 No. 95 yang
berlanjut dengan munculnya sekolah-sekolah diatas mempunyai pengaruh yang
sangat besar dalam pendidikan kita hingga saat ini. Kurikulum, dan Tingkat
pendidikan yang kita jalani saat ini yaitu Sekolah dasar (SD), Sekolah Menengah
Pertama dan Menengah Atas (SMP dan SMA), serta Sekolah Tinggi (Perguruan
Tinggi) adalah hasil pengaruh dari sistem yang telah diberikan Belanda pada
zaman penjajahan.
Dari pendidikan ala Belanda ini pula muncul tokoh-tokoh yang
akhirnya menjadi Pahlawan Nasional seperti Soekarno, M. Hatta, Sutan syahrir
dan lain sebagainya. Lahirnya putra-putra bangsa yang berpendidikan ini menjadi
awal kesadaran Nasional yang berujung pada kemerdekaan Indonesia.
Kedatangan bangsa penjajah memang memberikan banyak sekali
perubahan di Nusantara. Dalam bidang literasi, diketahui bahwa sebenarnya
dahulu abjad yang digunakan oleh penduduk Nusantara bukanlah abjad latin
seperti sekarang ini. Dalam sejarah tercatat abjad yang pernah eksis di tanah
air kita adalah huruf Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa melayu atau
yang biasa disebut huruf jawi. Di
daerah Jawa, huruf Arab juga digunakan untuk menuliskan bahasa Jawa atau yang
disebut huruf pegon disamping juga
ada aksara jawa (
ha-na-ca-ra-ka-da-ta-sa-wa-la-pa-dha-ja-ya-nya-ma-ga-ba-tha-nga). Aksara
Arab pada waktu itu digunakan di hampir semua daerah melayu seperti Malaysia, Srilanka,
Brunei Darussalam, Indonesia dan daerah lain seiring dengan berkembangnya agama
islam di wilayah tersebut.
Baru kemudian setelah bangsa kulit putih melakukan penjajaan
terhadap wilayah-wilayah di Asia, abjad latin pun mulai masuk. Di Indonesia,
bangsa Portugis diperkirakan yang pertama kali memperkenalkan abjad latin
kepada masyarakat pribumi. Setelah Belanda berhasil berkuasa atas Indonesia,
dan mengembangkan pendidikan dengan corak dan sistem barat, maka abjad latin
berangsur menggusur abjad Arab di Nusantara. Dan akhirnya, sekarang kitapun
membaca dan menulis dengan huruf Latin. Huruf Arab pegon/jawi hanya digunakan di pesantren-pesantren untuk memaknai
kitab-kitab kuning.
~Sandal Njepit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar