Pria yang tampan dan gagah itu sedang gelisah di samping sebuah makam, makam Gurunya. Gurunya yang dihukum mati, meminum racun cemara karena “menyuarakan gagasan dan kritikannya” pada masyarakat dan pemerintah. Pemerintah Athena yang demokratis!
Selain itu, alasan kedua gelisahnya pria itu adalah tumbangnya tanah airnya yang demokratis akibat serangan dari Sparta, sebuah Negara yang menerapkan sistem aristokrasi dengan junta militernya yang kuat. Sparta dengan rezim militer yang dictator sangat perkasa walau wilayahnya kecil. Mereka mewajibkan pendidikan militer bagi segenap pemuda di wilayahnya. Sementara Athena yang luas menjadi lemah karena demokrasi!
Pria itu, yang bernama Plato, adalah seorang filosof yang suka berpikir secara mendalam. Mungkinkah demokrasi adalah sebuah kutukan? Pada awalnya itulah pertanyaannya. Kemudian dia menyelidikinya.
Pertama, Plato melihat bahwa sebuah Negara yang ideal adalah yang berlandaskan kebajikan. Manusia tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. maka, manusia membentuk sebuah persekutuan yang disebut Negara. Dari sini, maka, pembagian tugas menurut keahlian masing-masing sangatlah diperlukan. Tiap warga melaksanakan keahliannya dengan kesadaran akan kebajikan.
Maka dari itu, yang pertama dia pilih adalah aristokrasi. Dimana aristokratlah yang membuat aturan dan kebijakan Negara, karena mereka adalah cendekiawan negara. Tapi, tidak bisa dielakkan jika setelahnya, keturunan aristokrat ini, yang dengan mudah mendapat kekuasaan, yang tidak memahami arti perjuangan, yang tidak merasakan kesusahan, akan mengubah Negara menjadi Timokrasi. Para generasi baru ini tidak berorientasi pada kepentingan bersama melainkan telah menjadi orientasi untuk menyenangkan diri sendiri. Kekuasaan yang mereka miliki digunakan untuk kesenangan, kemuliaan, dan kepentingan diri mereka sendiri.
Kemerosotan akan berlanjut ke Oligarki. Beberapa orang tidak lagi hanya membuat aturan Negara. Tapi, menguasai Negara! Para junta di Sparta adalah contohnya. Mereka memerintah dengan bengis dan kejam. Sehingga rakyat nampak menjadi seperti budak belaka.
Selanjutnya, rakyat yang tertindas oleh oligarki, akan memberontak dan menuntut kebebasan. kebebasan bersuara, bebas berpendapat, bebas memilih pemimpin. Sehingga akhirnya Negara jatuh pada Demokrasi. Pada sistem demokrasi yang begitu menggoda, Plato hanya bisa membayangkan bahwa: bagaimana jika manusia yang cenderung ceroboh dan rakus itu mendapat kebebasannya?
Manusia akan senang mendapat kebebasan, karena bisa “bebas membuat kekacauan” agar bisa mendapatkan yang diinginkan, sembari menghardik yang tidak sepaham. Tidak ada pemimpin yang dihargai, tidak ada aturan bersama yang benar-benar ikhlas disepakati. Semua mencintai negri dengan caranya masing-masing. Negara akan menjadi lemah dan terpecah. Dan..yang lebih buruk adalah, gerombolan mayoritas yang akan menindas minoritas, seperti terbunuhnya Scocrates, gurunya.
Begitulah, demokrasi dalam pandangan plato adalah sebuah “jalan keluar terakhir yang akan menjadi kutukan!”
**
Dalam kegelisahanya, Plato dikejutkan oleh suara muridnya, Aristoteles.
“Terlalu ekstrim itu tercela, Plato. Termasuk terlalu gelisah. Hanya dengan bersikap sederhana dan biasa saja, kita bisa bahagia. Karena itu berarti selaras.” Aristoteles mengucapkan kata yang pernah diajarkan Plato.
“Benarkah kebebasan manusia itu adalah kutukan? Tapi, bagaimana manusia bisa menjadi manusia, tanpa kebebasan?” Plato menyahut.
“Zoon politicon, Plato. Hewan berpolitik, itulah manusia. Kebebasan manusia itu terbatas pada kebebasan manusia yang lain. Maka dari itulah, manusia bersahabat. Dan bentuk persahabatan tertinggi manusia, adalah Negara.”
“Aristoteles, kau semakin pintar. Kuharap orang sepertimu bisa menjadi raja. Karena, kejahatan belum bisa berakhir sebelum filosof dijadikan raja, atau raja-raja menjadi filosof.”
“Aku mengasihimu, Plato. Tapi aku lebih mengasihi kebenaran. Kau adalah sosok yang terlalu idealis. Suka berkhayal akan hal-hal yang utopis. Faktanya, dunia ini tidak bisa sempurna. Bahkan jika seorang filosof menjadi raja. Jika saja ada seorang raja yang sempurna, aku sepakat denganmu. Tapi….
Negara yang monarki, akan segera menjadi tirani. Yang aristokrasi, akan segera menjadi oligarki. Aku sempat tertarik dengan sistem Politea, karena sistem ini yang paling realistis. Polity adalah sistem dimana kekuasaan berada di tangan orang banyak. Diakuinya pemikiran banyak orang, tidaklah dapat menjamin tercapainya kebenaran, tetapi sedikit banyak telah mengandung unsur-unsur kebenaran dan bahkan jauh lebih baik dari pemikiran beberapa orang. Dalam sistem ini, diperlukan landasan hukum yang jelas. Maksudnya, meskipun dalam kebebasan, tetap ada aturan yang wajib disepakati bersama.
Namun Politea ini juga dapat merosot ke dalam Demokrasi. Sebuah sistem dimana rakyat benar-benar mendapatkan kebebasannya. Ya, kutukan yang tidak bisa dihindari manusia, nafsu untuk bebas.
Dalam demokrasi, aturan menjadi absurd. Bayangkan, setiap warga Negara berhak menjadi pemimpin walaupun tak pantas. “Hak” berada di atas “Pantas”. Maka, dalam sistem yang merupakan kemerosotan dari Politea ini, kita akan melihat orang-orang bodoh berhak menjadi pemimpin karena kriteria pemimpin bukan kualitas, tapi “berhak dan bebas”. Perbedaan politea dan demokrasi sangat tipis. Mungkin, kita tidak akan menyadari, kapan politea menjadi sebuah demokrasi.” Aristoteles menutup uraiannya, sementara Plato masih menatap makam Socrates, gurunya yang kritis dan cerdas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar